Senin, 30 Januari 2012
DEXAMETASON DAN LAMANYA RAWAT INAP PADA PASIEN COMMUNITY-ACQUIRED PNEUMONIA (CAP), SEBUAH PERCOBAAN ACAK, DOUBLE BLIND DAN CONTROL PLACEBO
Meijvis
SC; Hardeman H; Remmelts HH; Heijligenberg R; Rijkers GT; van
Velzen-Blad H; Voorn GP; van de Garde EM; Endeman H; Grutters JC; Bos
WJ; Biesma DH
Department
of Internal Medicine, St Antonius Hospital, Nieuwegein, Netherlands.
s.meijvis@antoniusziekenhuis.nl
Latar
belakang : apakah keuntungan penambahan kortikosteroid pada
pengobatan dengan antibiotik penderita CAP yang tidak dirawat dalam
ICU masih belum jelas. Kami bertujuan untuk menilai efek penambahan
deksametason terhadap lamanya rawat inap pada grup ini, yang mungkin
menghasilkan resolusi pneumonia yang lebih awal melalui pengurangan
inflamasi sistemik.
Metode
: pada percobaan double blind, kontrol placebo, kami menetapkan
dengan acak dewasa umur 18 tahun atau lebih tua dengan konfirmasi
CAP yang masuk ruangan UGD dari dua rumah sakit pendidikan di belanda
untuk memperoleh deksametason intravena (5 mg sekali sehari) atau
placebo selama empat hari sejak masuk. Pasien tidak dapat dipilih
jika mengalami immunocompromize, dibutuhkan transfer segera ke
Intensif care unit, atau telah menerima kortikosteroid atau obat-obat
imunosupresif. Kami membagi pasien secara acak dalam sebuah dasar
one-to-one untuk mengobati kelompok dengan sebuah rangkaian alokasi
acak terkomputerisasi pada blok 20. Hasil utama adalah lamanya rawat
inap pada seluruh pasien yang terdaftar. Studi ini di daftarkan pada
percobaan klinik.pemerintah, nomor NCT00471640.
Hasil
:antara November,2007, dan September,2010, kami mendaftarkan 304
pasien dan mengalokasikan secara acak 153 pada kelompok placebo dan
151 pada kelompok deksametason. 143 (47%) dari 304 pasien yang
terdaftar memiliki indeks keparahan pneumonia kelas 4-5(79 [52%]
pasien kelompok deksametason dan 64 [42%] kontrol). Median lamanya
rawat inap 6.5 hari (IQR 5.0-9.0) pada kelompok deksametason
debandingkan dengn 7.5 hari (5.3-11.5) pada kelompok placebo (95% CI
of difference pada median 0-2 hari p = 0,0480). Pada tingkat
mortalitas dan dan efek parah jarang dan rata-rata tidak menunjukkan
perbedaan antar kelompok, walaupun 67 (44%) dari 151 pasien pada
kelompok deksametason mengalami hiperglikemia dibandingkn dengan 35
(23%) dari 153 kontrol (p<0,0001).
Interpretasi
: deksametason dapat menurunkan lamanya rawat inap ketika ditambahkan
pada terapi antibiotik pada pasien non-immunocompromize dengan
community-acquired pneumonia.
Sabtu, 28 Januari 2012
FISIOLOGI TERAPAN SENSASI NYERI
- Proses sistem somatosensorik terdiri dari empat modalitas sensoris yang secara umum berbeda: taktil, propioseptif, sensasi suhu, dan nyeri.
- Empat proses yang berbeda dapat diidentifikasi pengiriman rangsangan yang dapat membahayakan dan pengalaman nyeri yang subjektif: transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
- Terdapat dua jenis serabut aferen utama yangg terlibat dalam sensasi nyeri: serabut-Aδ dan C. Dua fungsi pokok neuron-neuron aferen utama adalah transduksi rangsangan dan transmisi informasi rangsangan yang dikodekan menuju sistem saraf pusat (SSP).
- Dalam pemberian sinyal sensasi nyeri pada kornu dorsalis, tiga kategori utama sel-sel neuronal dapat diidentifikasi: neuron-neuron proyeksi, dan interneuron-interneuron inhibitorik dan eksitatorik yang memanfaatkan berbagai macam neurotransmiter.
- Input sensasi nyeri menuju kornu dorsalis disampaikan ke pusat yang lebih tinggi di otak melalui beberapa jalur yang naik. Traktus spinotalamikus secara sederhana dianggap sebagai jalur nyeri utama.
- Multipel area kortikal diaktifkan dengan rangsangan yang menyakitkan termasuk: korteks-korteks somatosensorik primer dan sekunder, insula, korteks cingulata anterior, dan korteks prefrontal.
- Modulasi dari pesan-pesan sensasi nyeri pada neuron-neuron korda spinalis bergantung pada keseimbangan input dari nosiseptor aferen primer, neuron-neuron korda spinalis intrinsik, dan sistem desenden yang memproyeksikan dari tempat-tempat supraspinal.
PENDAHULUAN
Proses sistem
somatosensorik terdiri dari empat modalitas sensoris yang secara umum
berbeda: taktil, propioseptif, sensasi suhu, dan nyeri. Berdasarkan
pada teori spesifisitas, masing-masing modalitas sensorik dimediasi
oleh kelas reseptor yang terpisah dan jalur neuroanatomis yang
berbeda. Bagaimanapun, ketika klasifikasi ini tidak sekaku yang
pertama kali dipikirkan, hal tersebut ditahan dibawah kebanyakan
kondisi fisiologis. Sherington mengajukan bahwa reseptor-reseptor
kutaneus merespon secara selektif terhadap rangsangan kerusakan
jaringan (membahayakan)pada nosiseptor yang ditunjuk. Ketika
rangsangan termal atau mekanis yang membahayakan diterapkan pada
kulit, rantai kejadian diatur dalam gerakan yang biasanya
menghasilkan persepsi sensasi nyeri.
Selingan antara
pengiriman rangsangan yang membahayakan dan perasaan subjektif nyeri
adalah rangkaian kejadian elektrik dan kimia yang kompleks selama
dimana empat proses yang berbeda dapat diidentifikasi: transduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi atau aktivasi reseptor,
adalah proses dimana energi yang membahayakan dari eksternal
dikonversi menjadi aktifitas elektrofisiologis pada neuron-neuron
aferen primer nosiseptif. Transmisi merujuk pada proses yang dengan
ini informasi yang dikodekan dan dikirimkan ke struktur-struktur SSP
itu yang berkaitan dengan nyeri. Tingkatan pertama transmisi adalah
konduksi impuls-impuls pada neuron-neuron aferen primer menuju kornu
dorsalis dari korda spinalis, tempat dimana jaringan neuron-neuron
naik pada korda spinalis menuju batang otak dan thalamus. Terakhir,
hubungan resiprokal dibuat antara thalamus dan banyak daerah otak
yang lebih tinggi yang mengurusi masalah respon-respon perseptif dan
afektif yang berhubungan dengan nyeri. Bagaimanapun, aktifitas
nosiseptif tidak selalu menghasilkan persepsi nyeri (dengan cara yang
sama, nyeri mungkin dirasakan ketika tidak adanya sensasi nyeri).
Oleh karena itu, proses modulasi sinyal harus dimasukkan kedalam
sistem ini yang mempunyai kemampuan mengganggu dalam “jalur” ini;
tempat modulatorik yang paling banyak diketahui adalah kornu dorsalis
dari korda spinalis. Proses terakhir adalah persepsi, yaitu pesan
nyeri tersebut diteruskan ke otak, menghasilkan sebuah pengalaman
sensorik yang tidak mengenakkan, yang mempunyai komponen afektif,
defensif, dan perseptif.
ASPEK-ASPEK
TAMBAHAN SENSASI NYERI
Tabel
1a.1. klasifikasi
neuron-neuron
jenis
|
Velositas
konduksi
|
Diameter
neuron (µm)
|
karakteristik
|
Aα
|
60-120
|
12-22
|
Otot
skelet (M)
|
Aβ
|
50-70
|
4-12
|
Sentuhan,
getaran, tekanan ringan (M)
|
Aγ
|
35-70
|
4-12
|
Propioseptif
intrafusal (M)
|
Aδ
|
5-30
|
1-5
|
Aferen
nosiseptif primer (M)
|
B
|
3-30
|
1,5-4
|
Preganglionik
otonom(M)
|
C
|
<3
|
<1,5
|
Aferen
nosiseptif primer (unM)
Preganglionik
otonom(unM)
|
M,
serabut bermielin; unM, serabut tidak bermielin.
Neuron-neuron
pada saraf-saraf perifer dapat diklasifikasikan berdasarkan
karakteristik morfologis, elektrofisiologis, dan biokimia (tabel 1a.1
dan gambar 1a.1). terdapat dua jenis serabut aferen primer yang
terlibat dalam sensasi nyeri: serabut-serabut Aδ dan serabut C
(tabel 1a.2). Dua prinsip utama neuron-neuron aferen primer adalah
transduksi rangsangan dan transmisi informasi stimulus yang dikodekan
menuju SSP. Badan sel dari neuron semacam itu berlokasi di ganglion
radix dorsalis dari nervus spinalis (atau ganglion trigeminal untuk
nervus trigeminalis) dan badan sel dengan diameter lebih kecil
dihubungkan dengan sensasi nyeri. Masing-masing akson memiliki dua
cabang, satu berproyeksi ke perifer (proses periferal), dimana
terminalnya sensitif terhadap rangsangan yang membahayakan, dan
satunya berproyeksi ke SSP (proses sentral), dimana cabang ini
bersinaps dengan neuron-neuron SSP. Delapan puluh persen aferen
primer nosiseptor adalah serabut-serabut C tidak bermielin.
Gambar 1a.1 (a)
banyak nosiseptor aferen primer sensitif terhadap efek-efek
Capsaicin, yang mengeluarkan efeknya melalui interaksi dengan
transient
receptor potential vanilloid 1 (TRPV1),
namun dapat dibagi lagi berdasarkan kebergantungan mereka pada
berbagai macam faktor-faktor pertumbuhan dan komposisi neurokimia.
Hal ini dapat dipastikan dengan penelitian imunohistokimia dari
badan-badan sel nosiseptor aferen primer pada ganglion akar dorsalis
(DRG) dan kornu dorsalis dari korda spinalis. Pada kehidupan janin,
75% sel-sel DRG bergantung pada neurotropin nerve
growth factor (NGF)
untuk bertahan hidup dan mengekspresikan reseptor dengan afinitas
tinggi untuk NGF, TrKA(tirosin kinase A). Bagaimanapun, selama
kehidupan pascanatal awal, kebergantungan faktor pertumbuhan ini
berubah, sehingga pada kehidupan dewasa hanya 45% sel-sel DRG yang
mengekspresikan TrKA. Oleh karena itu, hingga sekarang, dua kelas
utama nosiseptor-nosiseptor aferen primer tak bermielin telah
diidentifikasi. Populasi peptidergik yang menjadi tambahan terhadap
kebergantungan NGF-nya juga mengekspresikan neuropeptida-neuropeptida
substansi P (SP) dan kalsitonin peptida terkait-gen/calcitonin
gen-related peptide(CGRP)
dan kadar rendah neurotropin lain faktor neurotrofik yang diturunkan
dari otak/brain-derived neurotrophic factor (BDNF). Mereka
memproyeksikan ke lamina I kornu dorsalis dan bagian luar lamina II,
dimana ditemukan reseptor neurokinin 1 (NK1) (agonis, susbtansi P).
populasi non-peptidergik terdiri dari 30% sel-sel DRG yang kehilangan
trkA dan dapat diidentifikasi oleh ekspresi Lektin mereka IB4 dan
enzim FRAP. Mereka menjadi sensitif terhadap faktor neurotrofik dari
garis keturunan sel Glia (GDNF) dan mengekspresikan reseptor afinitas
tinggi untuk GDNF. Mereka juga mengekspresikan reseptor purin P2X3.
Sebuah subset dari sel-sel ini mengandung somatostatin neuromodulator
(SNM). Neuron-neuron ini diterminasi pada bagian dalam lamina II
kornu dorsalis, sebuah area yang dikarakterisasi dengan ekspresi
spesifiknya yaitu protein
kinase C-γ
(PKC-γ). Perbedaan fundamental dalam pola terminasi aferen primer
baru-baru ini diperhitungkan untuk dua jalur nyeri yang meningkat
secara paralel pada sistem saraf pusat. Gambaran ini dipublikasikan
oleh Snider WD, McMahon SB. Tackling
pain
pada sumbernya: ide-ide baru mengenai nosiseptor. Neuron
1998;
20:629-32. Hak cipta Elsevier. (b) menggunakan pelacakan genetik dari
sirkuit-sirkuit nosiseptif yang naik, populasi neuron non-peptidergik
(yang mengekspresikan kanal sodium) memproyeksikan pada bebrapa
daerah limbik dan striata, termasuk globus palidus. Sebagai yang
terakhir terlibat dalam regulasi fungsi motorik, target nyeri yang
paling baru ini dapat menjelaskan mengapa stimuli yang membahayakan
selalu mnginduksi preubahan dalam prilaku motorik. Sebaliknya,
populasi peptinergik dengan berat memproyeksikan ke batang otak dan
thalamus. Dua populasi neuron dapat berkumpul pada tingkat
supraspinal di hipotalamus dan amigdala.
Tabel 1a.2
nosiseptor
Jenis
reseptor kelompok serabut kualitas
Polimodal (mekanis,
panas, kimia) C lambat, nyeri terbakar
Termal dan
mekanotermal Aδ tajam, nyeri menusuk
Nosiseptor-nosiseptor
polimodal C memberi respon terhadap energi yang merusak jaringan
dalam jangkauan yang luas (kimia, termal, dan mekanis). Pada saraf
perifer, mereka digabungkan kepada serabut-serabut C tak bermielin
yang mengkonduksi secara lambat. Percobaan mikroneurografi pada
manusia telah menunjukkan bahwa lalu lintas neuronal aferen primer
yang berhubungan dengan aktifitas nosiseptor polimodal C mempunyai
kaitan dengan persepsi nyeri “terbakar” yang memanjang. Reseptor
mechanoheat
Aδ membentuk sebuah kelompok yan lebih heterogen, secara umum
memberikan respon tehadap stimuli mekanis dan termal yang
membahayakan. Mereka digabungkan ke akson-akson Aδ bermielin tebal
yang mengkonduksi lebih cepat. Mikroneurografi menunjukkan bahwa
aktifitas pada akson-akson ini mempunyai hubungan dengan persepsi
“tajam”.
Klasifikasi
nosiseptor somatik
Nosiseptor
aferen primer baru-baru ini telah dikelaskan berdasarkan
karakteristik neurokimia dan koneksi spinalnya. Meskipun implikasi
yang tepat dari temuan-temuan untuk fungsi fisiologis ini pada saat
ini masih belum jelas (gambar 1a.) menggunakan sebuah analisis
pelacakan transneuronal genetic. Hal tersebut baru-baru ini
dinyatakan bahwa sirkuit yang paralel dan sangat independen diikat
oleh dua populasi nosiseptor aferen primer utama (peptidergik dan
non-peptidergik). Lagi pula, target motorik dan juga limbik hampir
mendominasi sirkuit yang berasal dari populasi non-peptida (gambar
1a.1b).
Reseptor-reseptor
kutaneus yang rumit terhubung dengan neuron-neuron bermielin besar,
tidak mempunyai imbangan yang dapat diidentifikasi pada domain
nosiseptif. Nosiseptor-nosiseptor pada kulit dan jaringan-jaringan
somatik lainnya secara morfologis merupakan ujung saraf bebas atau
struktur-struktur reseptor yang sangat sederhana dan tersebar luas
pada lapisan-lapisan superfisial kulit dan juga pada
jaringan-jaringan somatik tertentu yang lebih dalam (misalnya
periosteum dan permukaan sendi).
Nosiseptor-nosiseptor
polimodal C adalah nosiseptor somatik yang paling banyak dan
memberikan respon terhadap berbagai macam rangsangan mekanis, termal,
dan kimia khas seperti cabai, merica, begitu juga berbagai macam
molekul yang dihubungkan dengan cedera jaringan dan inflamasi (tabel
1a3.). semakin cepat konduksi (5-30 m/s) nosiseptor-nosiseptor Aδ
membentuk kelompok yang lebih heterogen dan secara umum memberikan
respon terhadap rangsangan termal dan/atau mekanis.
Tabel
1a.3. beberapa
molekul endogen yang mengaktifkan nosiseptor
Substansi
Sumber Enzim yang terlibat Efek pada serabut- dalam
sintesis serabut aferen
potasium sel-sel
rusak aktivasi
proton sel-sel
hipoksik aktivasi
serotonin platelet
Triptofan hidroksilase aktivasi
bradikinin plasma
kinogen Kallikrein aktivasi
histamin sel
Mast aktivasi
prostaglandin sel-sel
AA yang rusak Siklooksigenasi sensitisasi
leukotrin sel-sel
AA yang rusak S-lipoksigenasi sensitisasi
substansi
P aferen-aferen primer sensitisasi
AA:
asam arkhidonat
RESEPTOR-RESEPTOR
AFEREN PRIMER
Stimulus
yang membahayakan mangaktifkan nosiseptor dengan mendistorsi dan
mendepolarisasi membran dari ujung saraf sensorik. Mekanisme seluler
yang sebenarnya yang dengannya berbagai macam stimuli
mendepolarisasikan ujung sensoris bebas dan memicu sebuah potensial
aksi yang tidak diketahui, namun dinyatakan bahwa mekanisme
transduksi untuk masing-masing jenis rangsangan yang membahayakan
adalah berbeda. Sejumlah kanal ion yang telah dikhusukan telah
diidentifikasi bahwa merupakan transduksi yang mendasari. Dalam hal
ini termasuk, termoreseptor, kemoreseptor, dan mekanoreseptor. Secara
elektrofisiologis, mekanoreseptor tersebut dapat dibagi kedalam du
akelompok utama: (1) mekanoreseptor ambang batas rendah yang semuanya
secara sehat memberikan respon terhadap fase stimulus yang melandai
dan (2) nosiseptif(mekanonosiseptor) yang ber-respon utamanya
terhadap fase statik rangsangan. Mekanonosiseptor dapat membentuk
ujung saraf bebas pada dermis atau epidermis dan secara khusus
membentuk sinapsis pada kornu dorsalis superfisial. Mekanisme
molekuler yang dengannya neuron-neuron sensorik mendeteksi rangsangan
mekanis tidak sepenuhnya dipahami, namun mungkin melibatkan subtipe
Na1,
K1,
transient
receptor potensial
(TRP), atau acid-sensing
ion channels.
acid-sensing
ion channels
(ASIC) hampir terdapat pada semua sistem saraf mamalia, terutama pada
bagian perifer dimana mereka terlibat dalam sensasi mekanis dan
sensasi nyeri.
Pada
waktu kapanpun, kita dapat merasakan kisaran temperatur yang lebar,
ketika rangsangan termal mengeksitasi neuron-neuron sensorik aferen
primer. Ketika sudah teraktivasi, sel-sel ini meneruskan
sinyal-sinyal, melalui potensial aksi, dari jaringan-jaringan perifer
menuju korda spinalis dan otak, dimana mereka diintegrasikan dan
diinterpretasikan untuk memicu respon-respon refleksif dan kognitif
yang tepat. Secara psikopsikis, kami merasa, panas dapat membuat
tidak nyaman atau menghasilkan nyeri (membahayakan) ketika temperatur
melebihi sekitar 430C
, sedangkan ambang untuk suhu dingin yang membahayakan adalah sekitar
150C.
protein yang memungkinkan neuron-neuron sensorik untuk membawa
informasi temperatur adalah terutama dengan kanal ion yang diaktivasi
oleh perubahan-perubahan spesifik pada temperatur dan termasuk
kedalam keluarga TRP (gambar 1a.2). beberapa kanal TRP sensitif
terhadap temperatur, ketika diaktivasi, mendepolarisasi
terminal-terminal nosiseptor. Kanal TRVP1,
aslinya bernama the
vanilloid receptor 1 (VR1),
adalah kanal ion yang permeabel terhadap kalsium, yang dijaga secara
langsung oleh panas pada temperatur sekitar 430C,
namun juga diaktivasi oleh Capsaicin
dan proton-proton.
Gambar
1a.2. Capcaicin,
bahan yang tajam/pedas dari cabai merica, ion-ion hidrogen dan panas
yang membahayakan dapat mengaktivasi reseptor TRPV1, keterlibatan
TRPV1 dalam sensasi nyeri panas telah ditunjukkan dalam berbagai
macam metode, termasuk analisis kekurangan TRPV1 pada mencit. TRPV2,
TRPM8, dan TRPA1 nampaknya juga sangat mungkin terlibat dalam sensasi
nyeri termal, karena ambang batas aktivasi mereka berada dalam
kisaran temperatur yang membahayakan. Sebagai tambahan terhadap salah
satu keluarga TRP kanal K+,
protein membran lainya seperti Na+,
K+,
ATPase, keluarga dari degenerin/kanal sodium epitelial (DEG/ENaC),
dan reseptor-reseptor P2X, dilaporkan memiliki sifat termosensitif.
Bagaimanapun, keterlibatan protein-protein itu dalam termonosisepsi
masih perlu untuk ditegakkan.
Banyak
nosiseptor mengekspresikan rseptor-reseptor ionotrofik (P2X) dan
GProtein-coupled
(P2Y) yang responsif terhadap adenosin trifosfat (ATP). Semua sel
dalam tubuh mengandung konsentrasi ATP milimolar, yang dilepaskan
jika sel-sel dilisiskan selama cedera lalu kemudian dapat
mengaktifkan nosiseptor.reseptor-reseptor P2X3
yang secara selektif mengekspresikan predomninansinya pada
neuron-neuron sensorik nosiseptif dengan diameter kecil. Serotonin
(5-hydroxytryptamine
(5-HT))yag
dilepaskan dari sel-sel platelt dan sel mast setelah cendera
jaringan. Reseptor-reseptor subtipe 5-HT3
17 dan 5-HT2A
terdapat pada serabut-serabut C, bekerja bersama dengan
mediator-mediator radang lainnya untuk mengeksitasi dan mensensitasi
serabut-serabut saraf aferen (lihat bab 1b, mekanisme hiperalgesia
inflamatorik).
Sensasi
nyeri: somatik versus viseral
Untuk
alasan yang jelas, fisiologi sensasi nyeri secara tradisionl telah
diuraikan oleh pemeriksaan respon-respon terhadap stimuli yang
berlangsung singkat yang dihantarkan ke kulit. Meskipun demikian,
nyeri yang berasal dari viseral merupakan sebuah masalah klinis yang
penting, dan sensasi nyeri viseral dan somatik berbeda dalam beberapa
hal yang fundamental (tabel 1a.4). hal ini tidak mengejutkan ketika
fungsi biologis dari inervasi sensorik kulit dan visera
dipertimbangkan: sistem somatik memperingatkan adanya ancaman
eksternal, sedangkan sistem viseral menyiagakan organisme terhadap
bahaya penyakit internal. Perbedaan fungsional inin paling nyata
ketika “stimuli yang efektif” untuk mengeksitasi nosiseptor
somatik dan viseral dimasukkan kedalam pertimbangan. Stimuli termal
dan mekanis merujuk pada diatas sebagai pengeksitasi nosiseptor
somatik secara umum tidak efektif dalam membangkitkan nyeri ketika
dihantarkan ke organ-organ dalam. Tentu saja, stimuli sensorik yang
diterapkan kepada organ-organ internal parenkimatosa tertentu, sepeti
paru-paru, hati, dan ginjal yang sehat nampaknya tidak menghasilkan
persepsi sensasi apapun. Distensi atau kontraksi yang patologis
dinding otot polos dari visera yang berrongga dan kapsula organ-organ
parenkimatosa dapat membangkitkan nyeri, sebagai contoh nyeri kolik
ureter atau persalinan, seperti juga iskemik dan inflamasi.
Lokalisasi yang tepat dari sumber cedera secara biologis penting
untuk cedera kutaneus, namun tidak untuk visera, dan aktifitas pasien
mengenai hal ini mencerminkan hal tersebut.
Tabel
1a.4. sebuah
perbandingan gambaran nyeri viseral dan somatik.
Visera Kutaneus
Stimuli
efektif Trauma langsung tidak efektif Trauma langsung efektif
Distensi
dan iskemik efektif
Lokalisasi
tempat cedera Buruk Tepat
Hiperalgesia
primer Ya Ya
Hiperalgesia
sekunder Ya, pada tempat rujukan Ya,sekitartempatkerusakan
Gejala-gejala
otonom terkait Biasa Tidak biasa
Mekanisme
transduksi untuk nyeri yang berasal dari viseral berbeda dengan yang
berasal sistem kutaneus, mencerminkan peranan biologis inervasi
kutaneus dan viseal yang berbeda. Ufngsi sistem viseral adalah untuk
memperingatkan akan penyakit internal daripada ancaman eksternal.
Dengan demikian stimuli termal dan mekanis dengan intensitas tinggi
secara umum tidak akan berpengaruh, sedangkan distensi, inflamasi,
atau iskemi dan kontraksi otot polos viseral membangkitkan persepsi
nyeri.
Aferen-aferen
viseral memproyeksikan ke korda spinalis mewakili kurang dari 10%
dari semua input aferen spinal. Masing-masing viskus diinervasi oleh
dua saraf yang berbeda, khususnya saraf vagus dan sebuah saraf spinal
(“splanchnic”). Neuron-neuron spinal second-order
atas mana terminasi aferen-aferen viseral juga dari visera lain.
Nosiseptor viseral telah teridentifikasi pada kebanyakan organ
internal dan biasanya diklasifikasikan berdasarkan pada sifat mekanis
mereka. Bagaimanapun, hal tersebut nampaknya bahwa sensitifitas kimia
mereka oleh agen-agen yang bekerja secara lokal memainkan sebuah
peranan yang lebih penting dalam memberikan sinyal dari keadaan nyeri
yang relevan secara klinis daripada mekanosensitifitas mereka.
Terdapat juga peningkatan bukti untuk peranan pokok beberapa elemen
non-neural dalam pemberian sinyal dan transduksi kejadian-kejadian
nosiseptif viseral: sebagai contoh, telah ditunjukkan bahwa ATP dan
nitrit oksida (NO) yan dilepaskan dari sel-sel urotelial memodifikasi
aktifitas dari aferen-aferen sensorik kandung kemih. Substrat
molekuler yang mendasari sensitifits dari visera yang berbeda
termasuk acid-sensing
ion channel (ASIC),
reseptor-reseptor TRPV1 dan purinergik (P2X), voltage-gated
Na+
channels(kanal-kanal
Na+
yang membuka menutup dengan voltase) (Nav
1,8) dan neuropeptida-neuropeptida dari family
tackhynin.
Terakhir, bukti yang muncul menyatakan bahwa satu badan sel sensorik
viseral ganglion radix dorsalis dapat membangkitkan akson-akson yang
menginervasi organ-organ yang berbeda, dan bahwa nosiseptor viseal
yang tersembunyi nampaknya mewakili sebuah proporsi yang lebih besar
dari inervasi viseral daripada yang pernah dilaporkan pada kulit.
KORDA
SPINALIS
Proses
sentral dari hampir keseluruhan neuron-neuron aferen primer memasuki
korda spinalis melalui radix dorsalis, bagian yang berhubungan dengan
persepsi nyeri terdapat pada bagian ventrolateral ari radix.
Sementara kebanyakan neuron-neuron nosiseptif dengan segera memasuki
kornu dorsalis pada tingkat segmental yang sama, sebuah rangkaian
ukuran yang signifikan kearah kaudal atau rostral untuk beberapa
segmen pada traktus Lissauer’s. neuron-neuron aferen primer
bersinaps dengan neuron-neuron SSP (second order) pada kornu dorsalis
(gambar 1a.3a). sebagai tambahan, akson-akson yang turun dari batang
otak bersinapsis pada kornu dorsalis dan memodulasi transmisi
nosiseptif.
Gambar
1a.3. anatomi
dari korda spinalis (a) pengorganisasian kolumner dari substansia
alba dari korda spinalis ditunjukkan oleh gambar. (b) skema Rexed’s
untuk laminasi substansia grisea spinalis.
Anatomi:
laminae Rexed
Kornu
dorsalis dari korda spiunalis adalah titik penyampaian pertama untuk
informasi sensoris yang disampaikan ke otak dari perifer. Substansia
grisea spinalis mengandung badan sel saraf neuron-neuron medula
spinalis dan substansia alba mengandung akson-akson yang naik ke atau
turun dari otak. Pada tahun 1952, berdasarkan pada sitoarsitektur
neuronal, Rexed membagi lagi substansea grisea kedalam 10 laminae
(gambar 1a.3b). laminase I-VI berhubungan dengan kornu dorsalis dan
mengandung interneuron dan neuron-neuron proyeksi yang menyampaikan
informasi sensorik yang datang menuju otak.
Serabut-serabut
nosiseptif berakhir terutama di kornu dorsalis superfisial, yang
terdiri dari zona marginal (laminaI) dan subsatnsia gelatinosa
(lamina II).beberapa serabut-serabut Aδ juga memproyeksikan jauh
lebih dalam dan berakhir pada lamina V. pada kornu dorsalis,
aferen-aferen nosiseptif membentuk hubungan dengan neuron-neuron
proyeksi atau interneuron-interneuron eksitatorik lokal
(glutamatergik) atau inhibitorik (GABAergik dan/atau glisinergik)
untuk meregulasi aliran informasi nosiseptif menuju pusat yang lebih
tinggi. Neuron-neuron ini juga berlokasi di laminae V dan VI (gambar
1a.4). dibawah kondisi fisiologi snormal, aferen-aferen taktil
(sentuhan ringan) bersinaps pada lapisan III dan IV. Neuron-neuron
aferen taktil dan nosisetif juga mempunyai sebuah input yang
konvergen menuju neuron-neuron lamina V, baik secara langsung atau
melalui interneuron-interneuron.
Gambar
1a.4. berakhirnya
neuron-neuron aferen primer di kornu dorsalis dari korda spinalis.
Neuron-neuron proyeksi pada lamina I menerima input langsung dari
nosiseptor-nosiseptor Aδ bermielin dan input tidak langsung dari
nosiseptor-nosiseptor C tidak bermielin melalui
interneuron-interneuron sel batang yang berakhir ada lamina II.
Neuron-neuron lamina V hamir secara keseluruhan adalah tipe dengan
kisaran dinamik yang luas. Mereka menerima input ambang rendah dari
mekanoreseptor-mekanoreseptor serabut-serabut Aδ bermielin dengan
diameter besar, begitu juga input langsung maupun tidak langsung dari
aferen-aferen nosiseptif Aδ dan C.
Tiga
kategori utama sel-sel neuronal dapat diidentifikasi pada kornu
dorsalis: neuron-neuron proyeksi dan interneuron-interneuron
inhibitorik dan eksitatorik. Neuron-neuron proyeksi bertanggung jawab
untuk menyampaikan lalu lintas aferen ke pusat yang lebih tinggi, dan
tiga tipe neuronal yang berbeda secara disiologis dapat
diidentifikasi:
- Sel-sel spesifik terhadap nosiseptif (NS) memiliki respon secara eksklusif terhadap stiuli yang membahayakan, mempunyai lapangan penerimaan yang kecil dan menonjol pada lamina I, namun juga ditemukan pada lamina II dan V.
- Neuron-neuron ambang batas rendah (LT) memberikan respon semata-mata pada stimuli yang tidak membahayakan dan menonjol pada lamina III dan IV.
- Neuron-neuron dengan kisaran dinamik yang lebar (WDR) yang memberikan respon terhadap suatu kisaran stimuli sensorik. Neuron-neuron WDR menerima input yang memusat dari sejumlah besar neuron-neuron aferen primer dengan kisaran yang bermacam-macam dari modalitas sensorik yang berlainan dan sebagai akibat memiliki lapangan reseptif yang besar. Neuron-neuron WDR sebagian besar ada pada lamina V.
Dibandingkan
dengan serabut-serabut somatik, nosiseptor-nosiseptor viseral lebih
sedikit jumlahnya, terdistribusi lebih luas, secara seimbang
mengaktifkan sejumalh besar neuron-neuron spinal, dan tidak sama
terorganisir dengan baik secara somatotropik. Aferen-aferen viseral
berakhir terutamanya pada lamina V dan agak kurang pada lamina I.
kedua lamina ini mewakili konvergensi sentral antara input somatik
dan viseral, sebuah ciri penting untuk fisiologi “referred”
pain/nyeri alih yang berhubungan dengan cedera viseral (lihat
mekanisme referred pain).
Neurotransmiter-neurotransmiter
pada kornu dorsalis
Berbagai
macam neurotransmiter terlibat dalam pengiriman sinyal nosiseptif
pada kornu dorsalis (tabel 1a.5). sedangkan asam amino dan
neuropeptida tertentu memainkan sebuah peranan yang utama, tidak ada
bukti yang meyakinkan untuk eksistensi sebuah “neurotransmiter
nyeri” yang tunggal. Kenyataannya, identifikasi dari sebuah peptida
spesifik dengan sebuah kelas fisiologis reseptor sensorik yang
spesifik yang tidak mungkin mengingat bahwa koeksistensi, dalam
berbagai kombinasi, dari hingga empat peptida pada neuron-neuron
ganglia radix dorsalis tunggal. Lagi pula, distribusi neuropeptida
dalam berbagai macam jaringan dapat sangat berbeda. Sebagai contoh,
pada umumnya, neuron-neuron ganglia radix dorsalis yang menginervasi
target-target viseral kayak akan substansi P (SP) dan calcitonin
generated peptide (CGRP)
dibandingkan dengan yanng menginervasi kulit. Konsentrasi peptida
pada neuron-neuron ganglia radix dorsalis berubah setelah cedera
jaringan dan perubahan ini membuat bertahan lebih lama nyeri yang
dicetuskan oleh rangsangan nyeri. Hal ini mengindikasikan bahwa
cedera jaringan dapat merubah fenotip biokimia dari neuron aferen
primer.
Tabel
1a.5. neurotransmiter-neurotransmiter
pada kornu dorsalis yang memediasi/memodulasi nyeri.
Neutrotransmiter reseptor efek
pada sensasi nyeri
Nonpeptida
Monoamin
Norepinefrin α2 inhibitorik
5-HT 5-HT1,
(5-HT2),(
5-HT3) inhibitorik
Asam
amino
Inhibitorik
GABA GABAA,
GABAB inhibitorik
Glisin inhibitorik
Eksitatorik
Glutamat NMDA,
AMPA, kainat, mGIuR Eksitatorik Aspartat NMDA, AMPA, kainat,
mGIuR Eksitatorik
NO cGMP Eksitatorik
Asetilkolin muskarinik inhibitorik
Peptida
Opioid
Enkefalin δ
(DOR), κ (KOR), µ (MOR) inhibitorik
Β-endorfin δ
(DOR), κ (KOR), µ (MOR) inhibitorik
Nosiseptin nosiseptin/orfanin
F/Q NOP (OP4) Eksitatorik/
Inhibitorik
Non-opioid
Substansi
P NK1 Eksitatorik
CGRP CGRP Eksitatorik
CCK CCKB Antagonisa
Galanin
GAL Inhibitorik
Somatostatin sst Inhibitorik
Neuropeptida
Y Y1,
(Y2) Inhibitorik
Neurotensin NTS,
Inhibitorik
Bradikinin B2,
B1 Eksitatorik
Lain-lain
Adenosin A1 Inhibitorik
Purin P2X3 Eksitatorik
Sitokin Eksitatorik
Capsaicin TRPV1 Eksitatorik
Cannabioid CB1,
CB2 Inhibitorik
a
antagonis fungsional analgesia yang diinduksi opioid
norepinefrin
(noradrenalin), 5-HT, 5-hidroksitriptamin, AMPA,
α-amino-3-hidroksi-5-metil-4-isaxazole asam propionat; CCK,
kolesistokinin; cGMP, siklik guanosin monofosfat; CGRP, calcitonin
gene-related peptide;
DOR, delta opioid receptor; GABA, gamma-aminobutyric
acid;
KOR, Kappa
opioid rceptor;
mGIuR, metabotrophic
glutamate receptor;
MOR, mu
opioid receptor;
NK, neuokinin; NMDA, N-methyl-D-aspartate;
NO, nitrit oksida.
Sebagai
tambahan terhadap interaksi diantara peptida-peptida, terdapat juga
interaksi antara peptida-peptida dengan transmiter-transmiter asam
amino eksitatorik pada neuron-neuron kornu dorsalis. Stimulasi yang
membahayakan menimbulkan pelepasan glutamat dan asam amino yang
lainnya yang terjadi bersamaan dengan peptida-peptida pada ujung
aferen primer. Asam amino glutamat dan aspartat adalah partisipan
utama dalam transmisi eksitatorik pada tingkat spinal.
Substansi-substansi ini disimpan dalam terminal nosiseptor-nosiseptor
aferen primer dan dilepaskan sebagai respon terhadap aktifitas
nosiseptif. Aplikasi eksogen dari asam amino-asam amino ini
mereplikasi sensasi nyeri spinal dan antagonin memiliki kualitas
analgesik. Potensial pascasinaptik eksitatorik cepat yang
dibangkitkan oleh glutamat pada subtipe
α-amino-3-hydroxi-5-methyl-4-isaxazole
propionic acid
(AMPA) dari reseptor glutamat secara prinsip terlibat dalam transmisi
kedepan dari informasi nosiseptif dibawah kondisi fisiologis. Kondisi
yang diperlukan untuk aktivasi reseptor N-methyl-D–aspartate
(NMDA)
yang diinduksi glutamat merupakan reaksi yang komplek dan nampaknya
hanya dapat diperoleh setelah aktifitas yang terjaga dalam
neuron-neruon aferen primer serabut C. neuropeptida semacam SP dan
CGRP disimpan bersamaan dalam neuron-neuron glutamanergik dan juga
dilepaskan dari terminal-terminal nosispetor spinal sebagai respon
terhadap aktifitas aferen. Neuropeptida-neuropeptida ini kemungkinan
memainkan sebuah peranan fasilitatorik (neuromodulator) terhadap asam
amino eksitatorik.
Sebagai
tambahan terhadap efek-efek interneuron-interneuron GABA dan atau
glisinergik, terdapat sejumlah neurotransmiter inhibitorik lainnya
yang memodulasi sensasi nyeri pada tingklat segmental kornu dorsalis.
Somastatin memainkan sebuah peranan penting dalam modulasi nyeri baik
pada pusat maupun perifer. Penelitian-penelitian telah menunjukkan
aktivasi reseptor somatostatin perifer pada aferen-aferen primer
mencegah sensitisasi periferal, memodulasi reseptor-reseptor TRPV1,
memberikan kontrol inhibitorik tonik pada nosiseptor, dan berperan
terhadap analgesia akibat counterirritation.
Satu peran dari opioid endogen pada tingkat spinal adalah untuk
menghiperpolarisasi neuron-neuron aferen primer dan dengan demikian
mengatenuasi pelepasan neurotransmiter sebagai respon terhadap
stimulus nosiseptif. Sejumlah molekul-molekul lain memainkan peran
dalam modulasi spinal pada sensasi nyeri, misalnya adenosin,
adrenergik α2,
taurin, dan cannabinoid
endogen
(lihat tabel 1a.5 dan dibawah pada modulasi pesan nosiseptif).
Faktor-faktor neurotrofik yang mendukung kemampuan bertahan dan
pertumbuhan neuronal selama perkembangan sistem saraf, telah
menunjukkan dapat memainkan peranan yang signifikandalam transmisi
nyeri yang fisiologis dan patologis. Brain-derived
neurotrophic factor (BDNF),
disintesa pada neuron-neuron sensorik primer, secara anterograde
ditranspor menuju terminal sentral dari aferen-aferen primer pada
kornu dorsalis medula spinalis, dimana hal itu terlibat dalam
modulasi stimuli yang menyakitkan.
Milkroglia,
oligodendrosit, dan astrosit membentuk sekelompok besar sel-sel glial
SSP. Hal ini tidak diaktivasi dibawah kondisi basal dan nampaknya
tidak mempengaruhi sensitifitas nyeri. Namun, mikroglia diaktivasi
oleh kejadian-kejadian seperti cedera SSP, invasi mikroba, dan
beberapa keadaan nyeri, yang membawa kepada peningkatan produksi
berbagai macam sitokin peradangan, dan substansi-substansi lainnya
yang secara potensial menghasilkan nyeri (lihat bab 1b, mekanisme
hiperlagesia inflamatorik).
Mekanisme
referred pain
Karakteristik
klinis dari nyeri yang menemani cedera viseral adalah bahwa hal itu
seringkali dirasakan oleh penderita seperti timbul ari struktur
somatik yang berbeda. Contoh klasik adalah nyeri yang terjadi segera
setelah iskemik imokard yang seringkali dirasakan seperti tersebar
sepanjang lengan kiri. “nyeri alih” semacam itu cenderung
dirasakan seperti timbul ari struktur somatik yang berbagi asal
segmental medula spinalis umum yang sama secara embriologis dengan
viskus yang cedera. Meskipun mekanisme fisiologis dari nyeri alih
masih tak jelas, bobot bukti menyatakan bahwa hal tersebut merupakan
fenomena yang dimediasi melalui medula spinalis. Terdapat tiga teori
utama nyeri alih: (1) konvergensi akson (atau refleks akson), (2)
teori proyeksi, (3) dan teori talamik. Tak satupun dari ini semua
yang terpisah satu sama lain. (gambar 1a.5).
Gambar
1a.5.
Berbagai macam mekanisme teoretis nyeri alih. (a) konvergensi
akson/teori refleks. Neuron-neuron sensorik primer memiliki
akson-akson yang bercabang yang menginervasi target-target somatik
dan viseral. SSP tidak mampu untuk membedakan antara input semacam
itu dengan input nosiseptif viseral yang disalah artikan sebagai
berasal dari somatik. Sementara terdapat beberapa bukti eksperimental
untuk mendukung hipotrsis ini, hal tersebut tidak secara umum
diterima sebagai penjelasan nyeri alih. (b,c) teori-teori
konvergensi. Terdapat dua varian dari teori ini, proyeksi (b) dan
fasilitasi (c). keduanya membutuhkan konvergensi sinyal aferen
somatik dan viseral pada neuron-neuron kornu dorsalis tunggal. Secara
umum, proporsi yang lebih besar dari neuron-neuron aferen adalah
berasal dari somatik dan, oleh karena itu informasi aferen viseral
dirasakan seperti berasal dari somatik. Sungguh, mungkin terdapat
kekurangan yang menetap dari kemampuan persepsi nyeri viseral ketika
tida terdapat input somatik. (b) teori konvergensi-proyeksi.
Neuron-neuron aferen viseral berpusat pada neuron-neuron proyeksi
nyeri medula spinalis yang sama sebagai neuron-neuron aferen
nosiseptif dari struktur somatik dimana nyeri dirasakan. Otak tidak
mampu untuk membedakan antara input viseral dan somatik dan secara
sembarangan “memproyeksikan” sensasi tersebut ke struktur
somatik. (c) teori konvergensi-fasilitasi. Aktifitas yang terjaga
pada serabut-serabut aferen viseral merubah keadaan eksitabilitas
dari neuron-neuron kornu dorsalis dengan input aferen viseral dan
somatik yang konvergen. Hal ini menciptakan sebuah ‘‘irritable
focus’’
yang memfasilitasi proses kedepan dari lalu lintas subliminal yang
berasal dari somatik secara normal, sehingga input somatik secara
sem\gmental lainya yang tepat sekarang dapat menghasilkan sensasi
nyeri alih yang abnormal tentu saja. Sementara kedua teori ini (b)
dan (c) menjelaskan aturan segmental, teori konvergensi-fasilitasi
mempunyai kelebihan dalam menjelaskan fenomena referred
hiperalgesia
dan konsep sensitisasi pusat, yang memberikan bobot pada tingkat
kepercayaannya. (d) teori talamik. Interaksi pada tingkat supraspinal
(talamus) membawa kepada fenomena nyeri alih. Meskipun teori talamik
diangap tidak mungkin, adanya jalur asending spinal yang berbeda
untuk nosiseptor viseral memberi dukungan untuk hipotesis ini.
Bagaimanapun, referred
hiperalgesia dan
sifat alami nyeri alih sulit untuk diperhitungkan dengan teori
talamik semata.
Nyeri
alih dari visera sebagian akibat sensitisasi sentral neuron-neuron
konvergen viserosomatik (dipicu oleh serangan viseral aferen yang
masi), namun juga kemungkinan hasil dari aktivasi lengkung refleks
(input viseral memicu kontraksi otot refleks yang sebagai gantinya
bertanggung jawab untuk sensitisasi nosiseptor-nosiseptor otot),
bagaimanapun, nyeri alih dari struktur somatik yang lebih dalam tidak
dijelaskan oleh mekanisme sensitisasi sentral neuron-neuron konvergen
dalam bentuk aslinya, karena terdapat sedikit konvergensi dari
jaringan yang dalam pada neuron-neuron kornu dorsalis. Telah diajukan
bahwa koneksi ini, tidak muncul dari permulaan, dibuka oleh input
nosiseptif dari otot skelet, dan peralihan ke miotom (sekelompok otot
yang dipersarafi oleh segmen spinalis tunggal) diluar dari lesi hasil
dari penyebaran sensitisasi sentral pada segmen spinal tambahan.
DARI
KORDA SPINALIS KE OTAK
Input
nosiseptif menuju kornu dorsalis diteruskan ke pusa yang lebih tinggi
di otak melalui beberapa jalur asending; traktus spinotalamikus,
secara klasik dianggap sebagai jalur nyeri yang utama; proyeksi
secara spinomedular dan spinobulbar ke daerah medula dan batang otak
yang penting untuk kontrol homeostatik; dan traktus spinotalamikus ke
hipotalamikus dan otak depan bagian ventral. Proyeksi spinal ke
tempat-tempat lain, seperti serebelum atau nukleus retikuler
lateralis, lebih terlibat dalam integrasi sensorimotorik dibandingkan
transmisi nosiseptif secara langsung. Bukti yang ada memberi kesan
bahwa mungkin terdapat jalur lain, misalnya jalur
spinopontoamigdalaoid dan sebuah jalur tambahan untuk nyeri viseral
asending pada funikulus posterior.
Jalur
spinotalamikus
Traktus
spinotalamikus/ the
spinothalamic track
(STT) berasal ari neuron-neuron pada laminae I dan V-VII, dan berisi
akson-akson dari neuron-neuron spesifik nosiseptif dan kisaran
dinamik yang lebar. Mayoritas (85%) akson-akson traktus
spinotalamikus menyilang dan naik secara kontralateral. Sel-sel
lamina I membentuk STT lateral dan berproyeksi ke talamus (khususnya
bagian posterior dari nukleus medialis ventralis (Vmpo), lalu ke
korteks insular dan memediasi pesepsi nyeri emosional otonomik dan
tidak menyenangkan. Neuron-neuron laminae yang lebih dalam membentuk
STT anterior dan berproyeksi pada nukleus posterolateralis ventralis
dari talamus dan membawa aspek pembeda dari nyeri (misalnya loksi,
intensitas, dan durasi). Beberapa serabut spinotalamikus juga
berproyeksi ke substansea grisea periaquaduktal (menciptakan hubungan
dengan jalur desenden), sistem pangaktif retikuler, dan hipotalamus
(kemungkinan berperan terhadap timbulnya respon terhadap nyeri).
Jalur
spinobulber
Jalur
spinobulber asenden berproyeksi pada beberapa tempat didalam batang
otak, yang mengikutsertakan nukleus parabrankial, periaqueductal
gray
(PAG), kelompok sel katekolamin (A1-A7), dan formasi retikuler batang
otak. Jalur spinoparabrankial sebagian besar berasal dari
neuron-neuron lamina I yang mengekspresikan reseptor NK1, dan area
parabrankial adalah tempat utama untuk integrasi nosiseptif dan
homeostatik pada batang otak. Jalur ini memberi sinyal intensitas
stimuli yang membahayakan, mempunyai lapangan penerimaan yang besar
dan memberikan input pada bagian otak yang terlibat dalam komponen
emosional atau afektif dari nyeri. Dari area parabrankial,
neuron-neuron berproyeksi ke hipotalamus dan komponen-komponen
amigdala dari sistem limbik. (gambar 1a.1b).
Proyeksi
ke kelompok sel katekolamin, seperti lokus koeruleus atau A7,
terlibat dalam integrasi fungsi kardiorespiratorik dan otonomik, dan
berhubungan dengan mekanisme modulatorik desenden. PAG juga menerima
input spinal (sebagian besar sel-sel lamina I, namun juga lamina
VII), terlibat dalam kontrol homeostatik, dan terintegrasi dengan
jalur modulatorik desenden, khususnya melalui proyeksi ke medula
rostroventromedial (RVM).
DI
OTAK
Dengan mengikuti jalur proyeksi yang berasal di daerah
nosiseptif dari kornu dorsalis medula spinalis (lamina I dan V),
memungkinkan untuk mengasosiasikan daerah otak dengan fungsi
nosiseptif. Dengan demikian telah diidentifikasi beberapa inti dari
talamus lateralis (nekleus lateralis ventral posterior, nukleus
medialis ventral posterior, nukleus inferior ventral posterior,
bagian posterior nukleus ventromedialis) dan talamus medialis
(talamus sentrolaterlis, nukleus medio dorsalis bagian ventro kaudal,
nukleus parafsicular) yang mengubah proyeksi ke area korteks. Area
kortikal yang berperan pada fungsi nosiseptif meliputi: korteks
somatosensori primer (S1), korteks somatosensori sekunder (S2), dan
sekitarnya dalam operkulum parietal, insula, korteks singulata
anterior, dan korteks prefrontal. Dengan demikian , beberapa daerah
kortikal diaktifkan oleh rangsangan nyeri (Gambar 1a.6).
Nyeri adalah pengalaman multidimensi termasuk komponen
komponen sensorik diskriminatif dan afektif. Baru-baru ini Sebuah
kemajuan besar baru-baru dalam memahami mekanisme pusat pengolahan
nyeri telah berkembang dari aplikasi pencitraan otak dengan positron
emission tomography (PET) dan functional
magnetic resonance imaging (fMRI). Hasil
penelitian dari beberapa kelompok kerja yang melakukan eksperimen
induksi nyeri pada sukarelawan yang sehat telah menunjukkan penurunan
aliran darah secara global, serta peningkatan aliran darah serebral
regional di daerah otak yang berperan dalam fungsi nosiseptif (lihat
juga Gambar 1a.6). Suatu aspek baru yang penting dalam hubungan
pencitraan PET dengan penilaian psikologis adalah kemungkinan
menghubungkan pengolahan dimensi nyeri spesifik dengan suatu substrat
anatomi sirkuit nyeri di otak: (1) fungsi gating
yang dicerminkan oleh ambang nyeri tampaknya berhubungan dengan
korteks singulata anterior, korteks frontal inferior, dan thalamus;
(2) pengkodean intensitas nyeri pada periventrikular
grey dan korteks singulata posterior (3)
pengkode perasaan nyeri yang tidak nyamanan pada sektor posterior
dari korteks singulata anterior. (1) fungsi gating yang dicerminkan
oleh ambang nyeri tampaknya berhubungan dengan korteks singulata
anterior, korteks frontal inferior, dan thalamus; (2) pengkodean
intensitas nyeri pada periventrikular grey
dan korteks singulata posterior (3) pengkodean perasaan nyeri yang
tidak nyamanan pada sektor posterior dari korteks singulata anterior.
Selanjutnya, peneliti mempertimbangkan dampak dari sifat-sifat
individu dan konteks dari pengalaman nyeri (misalnya perhatian atau
gangguan) pada aktivitas otak depan yang ditimbulkan oleh stimuli
noxious.
Gambar
1a.6 (a) Jalur aferen dan interkonektivitas regio kortikal dan
subkortikal otak yang terlibat dalam persepsi nyeri. (b) Gambaran
resonansi magnetik potongan koronal dan sagital yang menunjukkan
bidang yang sesuai dengan yang ditampilkan pada bagian (a). ACC,
anterior cingulate cortex; Amyg, amygdala; BG, basal ganglia; HT,
hypothalamus; M1, primary motor cortex; PAG, periaqueductal gray; PB,
parabrachial nuclei; PCC, posterior cingulate cortex; PPC, posterior
parietal cortex; PF, prefrontal cortex; S1 and S2, primary and
secondary somatosensory cortices; SMA, supplementary motor cortex.
Gambar ini diterbitkan pada Apkarian AV,
Bushnell MC, Treede RD, Zubieta JK. Human brain mechanisms of pain
perception and regulation in health and disease. European Journal of
Pain. 2005; 9: 463–84, Hak Cipta Elsevier.
Yang terakhir, baru-baru ini diketahui bahwa aktivitas
kortikal sangat tergantung pada interaksi timbal balik dengan
thalamic relay karena
ada hampir sepuluh kali lebih banyak serat yang memproyeksikan
kembali dari S1 ke thalamus ventrobasal karena terdapat direksi maju
dari talamus ke korteks. Dengan demikian, peningktan aktivitas dalam
neuron S1 kortikofugal dapat menciptakan zona peningkatan aktivitas
dalam lengkung talamokortikal yang memediasi diskriminasi antara
sensasi taktil dan menyakitkan.
MODULASI
TERHADAP PESAN NOSISEPTIF
Adalah suatu hal yang dapat diamati secara umum bahwa
dalam keadaan tertentu persepsi nyeri tidak selalu merupakan
konsekuensi dari cedera jaringan dan nosisepsi. Untuk menjelaskan hal
ini, perlu untuk berhipotesis bahwa "jalur nyeri" memiliki
peran yang lebih kompleks daripada sekedar menyampaikan informasi
sensorik dari nosiseptor ke otak, tetapi juga dapat mengatur jalur
informasi aktivitas nosiseptif. Ada sejumlah tempat di mana modulasi
mungkin terjadi, tetapi kebanyakan yang diketahui terletak antara
sistem saraf perifer dan pusat di kornu dorsalis medula spinalis.
Eksitabilitas neuron saraf medula spinalis tergantung pada
keseimbangan input dari nosiseptor aferen primer, neuron saraf medula
spinalis intrinsik, dan sistem proyeksi desenden dari supraspinal.
Kontrol
modulasi segmental(medulas spinalis)
Modulasi kontrol segmental medula spinalis terhadap
aktivitas nosiseptif melibatkan sistem opioid endogen, inhibisi
segmental, keseimbangan aktivitas antara nosiseptif dan input aferen
lainnya, dan mekanisme kontrol operatif desenden.
Gambar 1a.7 Diagram skematik yang menggambarkan
pelepasan neurotransmitter dan neuropeptida dari serabut C serta efek
selanjutnya dan interaksi antara sistem eksitasi dan inhibisi yang
berbeda pada neuron kornu dorsalis. Neuron aferen primer melepaskan
berbagai neuropeptida dan eksitatorik asam amino dalam menanggapi
stimuli noxious. Aktivitas ini terjadi pada beberapa reseptor pasca
sinaptik. Selain itu peptida opioid bekerja pada reseptor opioid
pra-dan pasca sinaptik (aksi presinaptik yang dominan) untuk
memodulasi pelepasan transmiter dan aktifitas firing
of second-order nosiseptor. (Dicetak ulang
dengan izin dari Elsevier (The Lancet 1999;. 353, 1610-1615)).
Reseptor opioid di medula spinalis merupakan penentu
produksi analgesia. Ada empat kelas reseptor opioid: delta, d (Dor);
kappa, k (KOR); mu, m (MOR), dan nociceptin / orphanin F / Q, NOP
(sebelumnya dikenal sebagai ORL1 atau OP4). Banyak peptida opioid
endogen berasal dari salah satu gen yang menyandikan prekursor
glikoprotein besar terhadap peptida yang aktif secara fisiologis.
Anggota keluarga peptida masing-masing terletak di lokasi yang
terkait dengan pengolahan atau modulasi nosisepsi, khususnya dalam
lamina I dan II dari kornu dorsalis medula spinalis. Pada tingkat
ini, mekanisme utama analgesik opioid adalah dengan penghambatan
pelepasan neurotransmiter presinaptik dari neuron aferen primer
nosiseptif yang dicetuskan oleh cedera (lebih dari 70 persen dari
sejumlah reseptor m medula spinalis terletak di terminal aferen
primer). Opioid endogen juga tampaknya menyebabkan beberapa
penghambatan pasca sinaptik langsung terhadap neuron nosiresponsif
kornu dorsalis, termasuk sel-sel proyeksi. Singkatnya, masing-masing
dari empat kelas utama reseptor opioid dapat menyebabkan modulasi
yang diinduki opoid dari transmisi informasi nosiseptif pada kornu
dorsalis.
Transmisi input nosiseptif di medula spinalis dapat
dihambat oleh aktivitas segmental di medula itu sendiri, serta
aktivitas saraf desenden dari pusat supraspinal (lihat di
supraspinal/descending control). Inhibisi
GABA dan glisin interneuron memainkan peran penting dalam
penghambatan nyeri segmental di medula spinalis. GABA ditujukan
untuk memodulasi transmisi aferen dari informasi nosiseptif melalui
mekanisme prasinaptik dan pasca sinaptik. Konsentrasi GABA yang
tertinggi terdapat di kornu dorsalis medula spinalis, yang merupakan
inhibitor transmiter utama. Studi nosisepsi akut menunjukkan bahwa
transmisi aferen terhadap informasi nosiseptif di medula spinalis
merupakan subjek modulasi oleh aktivitas pelepasan GABA secara
endogen yang bekerja di reseptor baik pada GABAA atau GABAB. GABA dan
glisin terdapat di tempat yang sama pada banyak neuron di kornu
dorsalis, dan pada kenyataannya hampir setiap neuron
glisin-immunoreactive
dalam lamina I-III juga mengandung GABA. Mekanisme yang memodulasi
transmisi aferen glisin di kornu dorsalis adalah salah satu dari
penghambatan pasca sinaptik; reseptor glisin mendominasi reseptor
pasca sinaptik di kornu dorsalis.
Pemahaman kita tentang aktivitas ganja dimulai dengan
isolasi dan sintesis D9-tetrahydrocannabinol, yang merupakan
konstituen utama zat psikoaktif nya. Dua subtipe dari reseptor
kanabinoid telah diidentifikasi dan diklon, yaitu CB1 dan CB2.
kanabinoid sintetik telah dideskripsikan dan sistem endokanabinoid
telah diidentifikasi (anandamide dan 2-arachidonyl gliserol). Potensi
aksi antinosiseptif dari kanabinoid, saat ini telah ditunjukkan dalam
studi hewan dan dalam beberapa uji klinis. Diperlukan studi lebih
banyak untuk menetapkan potensi analgesik kanabinoid pada manusia.
Mekanisme aksi untuk antinosisepsi kanabinoid mencakup baik aksi pada
medula spinalis maupun supraspinal, serta mekanisme perifer terbaru
diakui. Reseptor CB1 kanabinoid telah diidentifikasi di medula
spinalis dan pada neuron aferen primer, di mana mereka terletak
dengan ideal untuk memodulasi aktivitas neuron kornu dorsalis. Bukti
menunjukkan bahwa kanabinoid dan endokanabinoid dapat bekerja pada
interneuron medula spinalis untuk memodulasi pelepasan
neurotransmiter serta transmisi nyeri. Dan yang terakhir, reseptor
CB2 kanabinoid ditemukan dalam sistem imun dan berperan dalam efek
anti-inflamasi dan antinosiseptif dari kanabinoid.
Modulator lain dalam fungsi nosisepsi - satu gas (oksida
nitrat) dan dua peptida (cholecystokinin dan galanin) - juga telah
dipelajari secara luas. Oksida nitrat (NO=nitric
oxide) telah diakui memiliki peran penting
dalam sistem saraf, baik sebagai massenger kedua intraseluler dan
sebagai bentuk neurotransmitter pra sinaptik. NO mengambil bagian
dalam banyak aspek dari proses persepsi nyeri (radang, transmisi
saraf). Oleh karena itu, NO telah terbukti memiliki peran
pronosiseptif atau antinosiseptif dalam persepsi nyeri. NO memainkan
peran sebagai fasilitator dalam proses transmisi nyeri saraf terutama
di medula spinalis. Ini telah dikonfirmasikan oleh fakta bahwa
inhibitor NOS (nitric oxides) dapat mengurangi perilaku nyeri pada
berberbagai bentuk nyeri. Namun, jalur NO/cGMP terlibat dalam
mekanisme aksi dari beberapa obat analgesik dan donor NO
(nitrogliserin, L-arginin) yang telah terbukti memiliki sifat
antinosiseptif, terutama di perifer.
Gambar 1a.8 kornu dorsalis tidak hanya merupakan jalur
untuk transmisi informasi nosiseptif, tetapi juga tempat modulasi
sinyal yang cukup baik. Pada tahun 1965, dalam upaya untuk
menjelaskan pengamatan klinis terhadap kerusakan jaringan dan
aktivasi nosiseptor perifer yang tidak selalu menghasilkan persepsi
nyeri, Melzack dan Wall merumuskan teori gate
control nyeri. Mereka mengemukakan bahwa di
dalam medula spinalis, terdapat sebuah "gerbang"
fisiologis, dan tergantung pada derajat pembukaan gerbang ini,
informasi nosiseptif diizinkan atau dicegah untuk naik ke otak.
Sistem kontrol desenden menampilkan tempat aksi opioid yang
dipostulatkan pada transmisi nyeri. Masing-masing lokasi berisi
neuron yang berpotensi mampu modulasi "penembakan" neuron
proyeksi nosiseptif. 5-HT, 5-hidroksitriptamin.
Cholecystokinin (CCK) merupakan keluarga gastrin peptida
dan didistribusikan secara luas dalam sistem saraf, di mana telah
ditunjukkan sebagai neurotransmitter yang memediasi banyak fungsi
penting. CCK tampaknya memiliki keterlibatan yang penting tapi
kompleks dalam transmisi dan modulasi nosiseptif. Peran yang paling
jelas dan tampaknya fisiologis untuk CCK adalah bahwa ia merupakan
antagonis fungsional analgesia yang diinduksi oleh opioid.
Gambar
1a.9 (a) Tinjauan tentang banyaknya mekanisme yang terlibat dalam
modulasi aktivitas jalur mediasi descending
inhibiton (DI) dibandingkan dengan descending
facilitation (DF). Yang bekerja secara
langsung dan tidak langsung melalui intervensi neuron. Untuk
mekanisme modulasi DI, pada banyak keadaan, saat aktifitas sel "OFF"
di medula rostroventromedial neuron serotonergik dan dan
noradrenergik yang terlibat, namun tentu juga mekanisme tambahan.
Untuk mekanisme modulasi DF, saat aktifitas sel''ON" di medula
rostroventromedial dan jalur desenden melepaskan transmiter cenderung
terlibat tetapi mereka tetap kurang didefinisikan. Pada tingkat kornu
dorsalis, perhatikan bahwa jalur mediasi DI dan DF memberikan pola
kebalikan dari pengaruh primary afferent fiber
(PAF) terminals, projection neurones (PNs), excitatory interneurones
(EXINs) and inhibitory interneurones (ININs). ACh, acetylcholine;
b-EP, b-endorphin; CB, cannabinoid; CCK, cholecystokinin; DRG, dorsal
root ganglion; DYN, dynorphin; EM, endomorphin; ENK, enkephalin;
GABA, gamma-hydroxy-butyric acid; GLU, glutamate; Hist, histamine;
musc, muscarinic; NA, noradrenaline; NE, norepinephrine; nic,
nicotinic; NMDA, N-methyl-D-aspartate; NO, nitric oxide; NPVF,
neuropeptide VF; NT, neurotensin; OFQ, orphanin FQ (nociceptin); SP,
substance P. (Gambar ini dipublikasikan di Millan MJ. Descending
control of pain. Progress in Neurobiology. 2002; 66: 355–474, Hak
cipta Elsevier) (b)
Tempat interaksi antara CCK dan opioid ada banyak, tapi
medula spinalis adalah tempat yang penting. Ini menunjukkan bahwa CCK
tidak mengubah ambang awal nyeri tetapi mengurangi afinitas
pengikatan ligan MOR (m reseptor opioid) dan juga membalikkan
peristiwa intraseluler setelah aktivasi reseptor opioid. Jadi,
antagonis CCK adalah potensi target yang menarik untuk meningkatkan
analgesia opioid.
Galanin adalah neuropeptida yang didistribusikan secara
luas dalam sistem saraf dan terdapat dalam populasi kecil di neuron
sensorik primer dan juga di medula spinalis interneurons. bukti yang
mendukung peran antinosiseptif untuk galanin telah diperoleh dari
studi-studi elektrofisiologi di mana galanin menghiperpolarisasikan
mayoritas neuron kornu dorsalis. Dalam kondisi normal, galanin
dilepaskan pada stimulasi serabut C dan memainkan peran penghambatan
dalam mediasi rangsangan medula spinalis. Studi tentang interaksi
antara galanin dan morfin mendukung peran antinosiseptif dari
galanin: disarankan bahwa efek medula spinalis dari morfin
diperantarai sebagian oleh aksi penghambatan terhadap galanin.
Proteinase, seperti trombin, tripsin, dan tryptase
dilepaskan selama trauma dan inflamasi, memberikan efeknya dengan
mengaktifkan proteinase-activated receptors
(PAR). Proteinase-activated receptor-2 (PAR2) diekspresikan
oleh neuron aferen primer medula spinalis, dan PAR2 agonis (seperti
tripsin atau tryptase)
yang merangsang pelepasan substansi P dan CGRP pada jaringan perifer.
Bukti terbaru menunjukkan bahwa agonis dari PAR2 memberikan sinyal
neuron aferen primer menyebabkan hiperalgesia dan berkelanjutan.
Agonis ini menginduksi sensitisasi neuron kornu dorsalis dan
pelepasan prostaglandin. Oleh karena itu, disebutkan bahwa
proteinase, bekerja sebagian melalui PAR2, memiliki peran dalam
transmisi nyeri.
Purin, seperti adenosin dan ATP adalah ligan endogen
yang terlibat dalam modulasi transmisi nyeri dengan bekerja pada
purinoseptor P1 dan P2 baik di jaringan perifer dan walaupun SSP.
Yang jelas diketahui bahwa sebagian besar reseptor P2 adalah subtipe
P2X3, yang ditemukan dalam neuron sensorik primer (hanya dalam neuron
nonpeptidergik). Beberapa subtipe purinoseptor adalah target molekul
potensial untuk pengobatan nyeri.
Singkatnya, modulasi segmental nosisepsi telah
dipelajari secara ekstensif dan banyak neurotransmiter dan reseptor
(Tabel 1a.5) yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis telah
diidentifikasi, tetapi peran dari beberapa zat ini tetap tidak jelas,
sedangkan peran yang lainnya dalam proses nyeri telah relatif
ditetapkan. Hal ini lebih rumit oleh fakta bahwa beberapa peptida
yang terlibat tidak hanya terlokalisasi dalam neuron aferen primer
terminal, tetapi juga di neuron intrinsik dan serabut desenden.
Akhirnya, kompleksitas tambahan disebabkan oleh koeksistensi beberapa
peptida dan neurotransmiter klasik di neuron yang sama.
Kontrol
supraspinal/desenden
Aktivitas neuron di medula spinalis yang menerima input
dari serat nosiseptif dapat diubah oleh input dari neuron aferen
nonnosiseptif lain. Konsep ini mendasari Melzack dan Wall pada tahun
1965 untuk teori gate control
(Gambar 1a.8). Menurut model ini, aktivitas di aferen Ab menghambat
neuron kornu dorsalis untuk menanggapi input dari serabut Ad dan C.
Dengan demikian, nyeri dapat dihilangkan dengan stimulasi dari serat
aferen bermielin. Penggunaan stimulasi listrik saraf transkutan untuk
menghilangkan nyeri dalam praktek klinis adalah sebagian didasarkan
pada teori ini (untuk rincian lebih lanjut, lihat bab 14
ranscutaneous electrical nerve stimulation (TENS) dan
akupuntur untuk nyeri akut).
Sebuah jaringan proyeksi jalur desenden dari struktur
otak ke kornu dorsalis memainkan peran yang kompleks dan penting.
Penelitian awal menetapkan bahwa pengaruh jalur desenden adalah
mengaktifkan terutama fungsi inhibisi. Namun, kita sekarang tahu
bahwa jalur sentrifugal tertentu baik menekan (hambatan desenden)
atau mempotensiasi (fasilitasi desenden) pesan nosiseptif ke otak
(Gambar 1a.9) Bukti yang dikumpulkan menunjukkan bahwa pengaruh
fasilitasi desenden dapat berkontribusi untuk pengembangan dan
pemeliharaan nyeri kronis.
Langganan:
Postingan (Atom)