Senin, 30 Januari 2012

TERAPI HIDROKORTISON PADA PASIEN DENGAN MULTIPLE TRAUMA, SEBUAH STUDI ACAK, KONTROL HYPOLYTE (HYDROCORTISONE POLYTRAUMATISE)

JAMA. 2011; 305(12):1201-9 (ISSN: 1538-3598)
Roquilly A; Mahe PJ; Seguin P; Guitton C; Floch H; Tellier AC; Merson L; Renard B; Malledant Y; Flet L; Sebille V; Volteau C; Masson D; Nguyen JM; Lejus C; Asehnoune K
Department of Anesthesiology and Intensive Care Medicine, University of Nantes, France.
Isi : Peran dari dosis stress hidrokortison pada manajemen pasien trauma masih belum diketahui.
Objektif : Menguji kemanjuran terapi hidrokortison pada pasien trauma.
Desain, seting dan pasien : Studi multisenter, acak, doubleblind, kontrol placebo HYPOLYTE (Hydrocortisone Polytraumatise). Sejak November 2006 sampai dengan agustus 2009, 150 pasien dengan trauma berat yang termasuk dalam tujuh intensive care unit perancis.
Intervensi : Pasien ditetapkan secara acak untuk mendapatkan hidrokortison continyu secara intravena (200mg/hari selama lima hari, diikuti dengan 100mg pada hari ke 6 dan 50 mg pada hari ke 7) atau placebo. Pengobatan dihentikan jika pasien mengalami respon adrena yang tepat.
Pengukuran hasil utama : hospital-acquired pneumonia selama 28 hari. Hasil kedua termasuk durasi dari ventilasi mekanik, hiponatremia dan kematian.
Hasil : Satu pasien menarik izin. Sebuah analisis intention to treat (ITT) termasuk 149 pasien, sebuah modifikasi ITT termasuk 113 pasien insufisiensi kortikosteroid. Pada analisis ITT , 26 dari 73 pasien (35,6%) diobati dengan hidrokortison dan 39 dari 76 pasien (51,3%) menerima placebo berkembang menjadi hospital-acquired pneumonia pada hari ke 28 (hazard rasio 0,51;95% interval kepercayaan 0,30-0,83;p = 0,007). Pada analisis modifikasi ITT, 20 dari 56 pasien (35,7%) pada kelompok hidrokortison dan 31 dari 57 pasien (54,4%) pada kelompok placebo berkembang menjadi hospital acquired pneumonia pada hari ke 28 (HR, 0,47;95% CI, 0,25-0,86;P=0,001). Hari bebas Ventilasi mekanik meningkat dengan hidrokortison selama 4 hari (95% CI, 2-7;P = 0,001) pada analisis ITT dan 6 hari (95% CI, 2-11; P < .001) pada modifikasi ITT. Hiponatremia diobservasi pada 7 dari 76 (9,2%) pada kelompok placebo dibandingkan tidak ada pada kelompok placebo. (Jelas berbeda, -9%;95% CI,-16% sampai -3%; P = 0,01). Empat dari 76 pasien (5,3%) pada grup placebo dan 6 dari 73 (8,2%) pada kelompok hidrokortison meninggal (jelas berbeda , 3%;95%CI,-5% sampai 11%;P = 0,44).
Kesimpulan : Pada pasien trauma yang diintubasi, penggunaan hidrokortison dosis strees intravena, dibandingkan dengan placebo, menghasilkan penurunan resiko hospital-acquired pneumonia.
Kesimpulan : Pada pasien trauma yang diintubasi, penggunaan hidrokortison dosis stress intravena, dibandingkan dengan placebo, mengasilkan penurunan resiko hospital acquired pneumonia.
Registrasi percobaan: clinicaltrials.gov Identifier: NCT00563303.

DEXAMETASON DAN LAMANYA RAWAT INAP PADA PASIEN COMMUNITY-ACQUIRED PNEUMONIA (CAP), SEBUAH PERCOBAAN ACAK, DOUBLE BLIND DAN CONTROL PLACEBO


Meijvis SC; Hardeman H; Remmelts HH; Heijligenberg R; Rijkers GT; van Velzen-Blad H; Voorn GP; van de Garde EM; Endeman H; Grutters JC; Bos WJ; Biesma DH
Department of Internal Medicine, St Antonius Hospital, Nieuwegein, Netherlands. s.meijvis@antoniusziekenhuis.nl

Latar belakang : apakah keuntungan penambahan kortikosteroid pada pengobatan dengan antibiotik penderita CAP yang tidak dirawat dalam ICU masih belum jelas. Kami bertujuan untuk menilai efek penambahan deksametason terhadap lamanya rawat inap pada grup ini, yang mungkin menghasilkan resolusi pneumonia yang lebih awal melalui pengurangan inflamasi sistemik.

Metode : pada percobaan double blind, kontrol placebo, kami menetapkan dengan acak dewasa umur 18 tahun atau lebih tua dengan konfirmasi CAP yang masuk ruangan UGD dari dua rumah sakit pendidikan di belanda untuk memperoleh deksametason intravena (5 mg sekali sehari) atau placebo selama empat hari sejak masuk. Pasien tidak dapat dipilih jika mengalami immunocompromize, dibutuhkan transfer segera ke Intensif care unit, atau telah menerima kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif. Kami membagi pasien secara acak dalam sebuah dasar one-to-one untuk mengobati kelompok dengan sebuah rangkaian alokasi acak terkomputerisasi pada blok 20. Hasil utama adalah lamanya rawat inap pada seluruh pasien yang terdaftar. Studi ini di daftarkan pada percobaan klinik.pemerintah, nomor NCT00471640.

Hasil :antara November,2007, dan September,2010, kami mendaftarkan 304 pasien dan mengalokasikan secara acak 153 pada kelompok placebo dan 151 pada kelompok deksametason. 143 (47%) dari 304 pasien yang terdaftar memiliki indeks keparahan pneumonia kelas 4-5(79 [52%] pasien kelompok deksametason dan 64 [42%] kontrol). Median lamanya rawat inap 6.5 hari (IQR 5.0-9.0) pada kelompok deksametason debandingkan dengn 7.5 hari (5.3-11.5) pada kelompok placebo (95% CI of difference pada median 0-2 hari p = 0,0480). Pada tingkat mortalitas dan dan efek parah jarang dan rata-rata tidak menunjukkan perbedaan antar kelompok, walaupun 67 (44%) dari 151 pasien pada kelompok deksametason mengalami hiperglikemia dibandingkn dengan 35 (23%) dari 153 kontrol (p<0,0001).

Interpretasi : deksametason dapat menurunkan lamanya rawat inap ketika ditambahkan pada terapi antibiotik pada pasien non-immunocompromize dengan community-acquired pneumonia.

Sabtu, 28 Januari 2012

FISIOLOGI TERAPAN SENSASI NYERI


  • Proses sistem somatosensorik terdiri dari empat modalitas sensoris yang secara umum berbeda: taktil, propioseptif, sensasi suhu, dan nyeri.
  • Empat proses yang berbeda dapat diidentifikasi pengiriman rangsangan yang dapat membahayakan dan pengalaman nyeri yang subjektif: transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
  • Terdapat dua jenis serabut aferen utama yangg terlibat dalam sensasi nyeri: serabut-Aδ dan C. Dua fungsi pokok neuron-neuron aferen utama adalah transduksi rangsangan dan transmisi informasi rangsangan yang dikodekan menuju sistem saraf pusat (SSP).
  • Dalam pemberian sinyal sensasi nyeri pada kornu dorsalis, tiga kategori utama sel-sel neuronal dapat diidentifikasi: neuron-neuron proyeksi, dan interneuron-interneuron inhibitorik dan eksitatorik yang memanfaatkan berbagai macam neurotransmiter.
  • Input sensasi nyeri menuju kornu dorsalis disampaikan ke pusat yang lebih tinggi di otak melalui beberapa jalur yang naik. Traktus spinotalamikus secara sederhana dianggap sebagai jalur nyeri utama.
  • Multipel area kortikal diaktifkan dengan rangsangan yang menyakitkan termasuk: korteks-korteks somatosensorik primer dan sekunder, insula, korteks cingulata anterior, dan korteks prefrontal.
  • Modulasi dari pesan-pesan sensasi nyeri pada neuron-neuron korda spinalis bergantung pada keseimbangan input dari nosiseptor aferen primer, neuron-neuron korda spinalis intrinsik, dan sistem desenden yang memproyeksikan dari tempat-tempat supraspinal.


PENDAHULUAN
Proses sistem somatosensorik terdiri dari empat modalitas sensoris yang secara umum berbeda: taktil, propioseptif, sensasi suhu, dan nyeri. Berdasarkan pada teori spesifisitas, masing-masing modalitas sensorik dimediasi oleh kelas reseptor yang terpisah dan jalur neuroanatomis yang berbeda. Bagaimanapun, ketika klasifikasi ini tidak sekaku yang pertama kali dipikirkan, hal tersebut ditahan dibawah kebanyakan kondisi fisiologis. Sherington mengajukan bahwa reseptor-reseptor kutaneus merespon secara selektif terhadap rangsangan kerusakan jaringan (membahayakan)pada nosiseptor yang ditunjuk. Ketika rangsangan termal atau mekanis yang membahayakan diterapkan pada kulit, rantai kejadian diatur dalam gerakan yang biasanya menghasilkan persepsi sensasi nyeri.
Selingan antara pengiriman rangsangan yang membahayakan dan perasaan subjektif nyeri adalah rangkaian kejadian elektrik dan kimia yang kompleks selama dimana empat proses yang berbeda dapat diidentifikasi: transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi atau aktivasi reseptor, adalah proses dimana energi yang membahayakan dari eksternal dikonversi menjadi aktifitas elektrofisiologis pada neuron-neuron aferen primer nosiseptif. Transmisi merujuk pada proses yang dengan ini informasi yang dikodekan dan dikirimkan ke struktur-struktur SSP itu yang berkaitan dengan nyeri. Tingkatan pertama transmisi adalah konduksi impuls-impuls pada neuron-neuron aferen primer menuju kornu dorsalis dari korda spinalis, tempat dimana jaringan neuron-neuron naik pada korda spinalis menuju batang otak dan thalamus. Terakhir, hubungan resiprokal dibuat antara thalamus dan banyak daerah otak yang lebih tinggi yang mengurusi masalah respon-respon perseptif dan afektif yang berhubungan dengan nyeri. Bagaimanapun, aktifitas nosiseptif tidak selalu menghasilkan persepsi nyeri (dengan cara yang sama, nyeri mungkin dirasakan ketika tidak adanya sensasi nyeri). Oleh karena itu, proses modulasi sinyal harus dimasukkan kedalam sistem ini yang mempunyai kemampuan mengganggu dalam “jalur” ini; tempat modulatorik yang paling banyak diketahui adalah kornu dorsalis dari korda spinalis. Proses terakhir adalah persepsi, yaitu pesan nyeri tersebut diteruskan ke otak, menghasilkan sebuah pengalaman sensorik yang tidak mengenakkan, yang mempunyai komponen afektif, defensif, dan perseptif.

ASPEK-ASPEK TAMBAHAN SENSASI NYERI
Tabel 1a.1. klasifikasi neuron-neuron
jenis
Velositas konduksi
Diameter neuron (µm)
karakteristik
60-120
12-22
Otot skelet (M)
50-70
4-12
Sentuhan, getaran, tekanan ringan (M)
35-70
4-12
Propioseptif intrafusal (M)
5-30
1-5
Aferen nosiseptif primer (M)
B
3-30
1,5-4
Preganglionik otonom(M)
C
<3
<1,5
Aferen nosiseptif primer (unM)
Preganglionik otonom(unM)
M, serabut bermielin; unM, serabut tidak bermielin.
Neuron-neuron pada saraf-saraf perifer dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik morfologis, elektrofisiologis, dan biokimia (tabel 1a.1 dan gambar 1a.1). terdapat dua jenis serabut aferen primer yang terlibat dalam sensasi nyeri: serabut-serabut Aδ dan serabut C (tabel 1a.2). Dua prinsip utama neuron-neuron aferen primer adalah transduksi rangsangan dan transmisi informasi stimulus yang dikodekan menuju SSP. Badan sel dari neuron semacam itu berlokasi di ganglion radix dorsalis dari nervus spinalis (atau ganglion trigeminal untuk nervus trigeminalis) dan badan sel dengan diameter lebih kecil dihubungkan dengan sensasi nyeri. Masing-masing akson memiliki dua cabang, satu berproyeksi ke perifer (proses periferal), dimana terminalnya sensitif terhadap rangsangan yang membahayakan, dan satunya berproyeksi ke SSP (proses sentral), dimana cabang ini bersinaps dengan neuron-neuron SSP. Delapan puluh persen aferen primer nosiseptor adalah serabut-serabut C tidak bermielin.

Gambar 1a.1 (a) banyak nosiseptor aferen primer sensitif terhadap efek-efek Capsaicin, yang mengeluarkan efeknya melalui interaksi dengan transient receptor potential vanilloid 1 (TRPV1), namun dapat dibagi lagi berdasarkan kebergantungan mereka pada berbagai macam faktor-faktor pertumbuhan dan komposisi neurokimia. Hal ini dapat dipastikan dengan penelitian imunohistokimia dari badan-badan sel nosiseptor aferen primer pada ganglion akar dorsalis (DRG) dan kornu dorsalis dari korda spinalis. Pada kehidupan janin, 75% sel-sel DRG bergantung pada neurotropin nerve growth factor (NGF) untuk bertahan hidup dan mengekspresikan reseptor dengan afinitas tinggi untuk NGF, TrKA(tirosin kinase A). Bagaimanapun, selama kehidupan pascanatal awal, kebergantungan faktor pertumbuhan ini berubah, sehingga pada kehidupan dewasa hanya 45% sel-sel DRG yang mengekspresikan TrKA. Oleh karena itu, hingga sekarang, dua kelas utama nosiseptor-nosiseptor aferen primer tak bermielin telah diidentifikasi. Populasi peptidergik yang menjadi tambahan terhadap kebergantungan NGF-nya juga mengekspresikan neuropeptida-neuropeptida substansi P (SP) dan kalsitonin peptida terkait-gen/calcitonin gen-related peptide(CGRP) dan kadar rendah neurotropin lain faktor neurotrofik yang diturunkan dari otak/brain-derived neurotrophic factor (BDNF). Mereka memproyeksikan ke lamina I kornu dorsalis dan bagian luar lamina II, dimana ditemukan reseptor neurokinin 1 (NK1) (agonis, susbtansi P). populasi non-peptidergik terdiri dari 30% sel-sel DRG yang kehilangan trkA dan dapat diidentifikasi oleh ekspresi Lektin mereka IB4 dan enzim FRAP. Mereka menjadi sensitif terhadap faktor neurotrofik dari garis keturunan sel Glia (GDNF) dan mengekspresikan reseptor afinitas tinggi untuk GDNF. Mereka juga mengekspresikan reseptor purin P2X3. Sebuah subset dari sel-sel ini mengandung somatostatin neuromodulator (SNM). Neuron-neuron ini diterminasi pada bagian dalam lamina II kornu dorsalis, sebuah area yang dikarakterisasi dengan ekspresi spesifiknya yaitu protein kinase C-γ (PKC-γ). Perbedaan fundamental dalam pola terminasi aferen primer baru-baru ini diperhitungkan untuk dua jalur nyeri yang meningkat secara paralel pada sistem saraf pusat. Gambaran ini dipublikasikan oleh Snider WD, McMahon SB. Tackling pain pada sumbernya: ide-ide baru mengenai nosiseptor. Neuron 1998; 20:629-32. Hak cipta Elsevier. (b) menggunakan pelacakan genetik dari sirkuit-sirkuit nosiseptif yang naik, populasi neuron non-peptidergik (yang mengekspresikan kanal sodium) memproyeksikan pada bebrapa daerah limbik dan striata, termasuk globus palidus. Sebagai yang terakhir terlibat dalam regulasi fungsi motorik, target nyeri yang paling baru ini dapat menjelaskan mengapa stimuli yang membahayakan selalu mnginduksi preubahan dalam prilaku motorik. Sebaliknya, populasi peptinergik dengan berat memproyeksikan ke batang otak dan thalamus. Dua populasi neuron dapat berkumpul pada tingkat supraspinal di hipotalamus dan amigdala.
Tabel 1a.2 nosiseptor
Jenis reseptor kelompok serabut kualitas
Polimodal (mekanis, panas, kimia) C lambat, nyeri terbakar
Termal dan mekanotermal Aδ tajam, nyeri menusuk
Nosiseptor-nosiseptor polimodal C memberi respon terhadap energi yang merusak jaringan dalam jangkauan yang luas (kimia, termal, dan mekanis). Pada saraf perifer, mereka digabungkan kepada serabut-serabut C tak bermielin yang mengkonduksi secara lambat. Percobaan mikroneurografi pada manusia telah menunjukkan bahwa lalu lintas neuronal aferen primer yang berhubungan dengan aktifitas nosiseptor polimodal C mempunyai kaitan dengan persepsi nyeri “terbakar” yang memanjang. Reseptor mechanoheat Aδ membentuk sebuah kelompok yan lebih heterogen, secara umum memberikan respon tehadap stimuli mekanis dan termal yang membahayakan. Mereka digabungkan ke akson-akson Aδ bermielin tebal yang mengkonduksi lebih cepat. Mikroneurografi menunjukkan bahwa aktifitas pada akson-akson ini mempunyai hubungan dengan persepsi “tajam”.


Klasifikasi nosiseptor somatik
Nosiseptor aferen primer baru-baru ini telah dikelaskan berdasarkan karakteristik neurokimia dan koneksi spinalnya. Meskipun implikasi yang tepat dari temuan-temuan untuk fungsi fisiologis ini pada saat ini masih belum jelas (gambar 1a.) menggunakan sebuah analisis pelacakan transneuronal genetic. Hal tersebut baru-baru ini dinyatakan bahwa sirkuit yang paralel dan sangat independen diikat oleh dua populasi nosiseptor aferen primer utama (peptidergik dan non-peptidergik). Lagi pula, target motorik dan juga limbik hampir mendominasi sirkuit yang berasal dari populasi non-peptida (gambar 1a.1b).
Reseptor-reseptor kutaneus yang rumit terhubung dengan neuron-neuron bermielin besar, tidak mempunyai imbangan yang dapat diidentifikasi pada domain nosiseptif. Nosiseptor-nosiseptor pada kulit dan jaringan-jaringan somatik lainnya secara morfologis merupakan ujung saraf bebas atau struktur-struktur reseptor yang sangat sederhana dan tersebar luas pada lapisan-lapisan superfisial kulit dan juga pada jaringan-jaringan somatik tertentu yang lebih dalam (misalnya periosteum dan permukaan sendi).
Nosiseptor-nosiseptor polimodal C adalah nosiseptor somatik yang paling banyak dan memberikan respon terhadap berbagai macam rangsangan mekanis, termal, dan kimia khas seperti cabai, merica, begitu juga berbagai macam molekul yang dihubungkan dengan cedera jaringan dan inflamasi (tabel 1a3.). semakin cepat konduksi (5-30 m/s) nosiseptor-nosiseptor Aδ membentuk kelompok yang lebih heterogen dan secara umum memberikan respon terhadap rangsangan termal dan/atau mekanis.



Tabel 1a.3. beberapa molekul endogen yang mengaktifkan nosiseptor
Substansi Sumber Enzim yang terlibat Efek pada serabut- dalam sintesis serabut aferen
potasium sel-sel rusak aktivasi
proton sel-sel hipoksik aktivasi
serotonin platelet Triptofan hidroksilase aktivasi
bradikinin plasma kinogen Kallikrein aktivasi
histamin sel Mast aktivasi
prostaglandin sel-sel AA yang rusak Siklooksigenasi sensitisasi
leukotrin sel-sel AA yang rusak S-lipoksigenasi sensitisasi
substansi P aferen-aferen primer sensitisasi
AA: asam arkhidonat

RESEPTOR-RESEPTOR AFEREN PRIMER
Stimulus yang membahayakan mangaktifkan nosiseptor dengan mendistorsi dan mendepolarisasi membran dari ujung saraf sensorik. Mekanisme seluler yang sebenarnya yang dengannya berbagai macam stimuli mendepolarisasikan ujung sensoris bebas dan memicu sebuah potensial aksi yang tidak diketahui, namun dinyatakan bahwa mekanisme transduksi untuk masing-masing jenis rangsangan yang membahayakan adalah berbeda. Sejumlah kanal ion yang telah dikhusukan telah diidentifikasi bahwa merupakan transduksi yang mendasari. Dalam hal ini termasuk, termoreseptor, kemoreseptor, dan mekanoreseptor. Secara elektrofisiologis, mekanoreseptor tersebut dapat dibagi kedalam du akelompok utama: (1) mekanoreseptor ambang batas rendah yang semuanya secara sehat memberikan respon terhadap fase stimulus yang melandai dan (2) nosiseptif(mekanonosiseptor) yang ber-respon utamanya terhadap fase statik rangsangan. Mekanonosiseptor dapat membentuk ujung saraf bebas pada dermis atau epidermis dan secara khusus membentuk sinapsis pada kornu dorsalis superfisial. Mekanisme molekuler yang dengannya neuron-neuron sensorik mendeteksi rangsangan mekanis tidak sepenuhnya dipahami, namun mungkin melibatkan subtipe Na1, K1, transient receptor potensial (TRP), atau acid-sensing ion channels. acid-sensing ion channels (ASIC) hampir terdapat pada semua sistem saraf mamalia, terutama pada bagian perifer dimana mereka terlibat dalam sensasi mekanis dan sensasi nyeri.
Pada waktu kapanpun, kita dapat merasakan kisaran temperatur yang lebar, ketika rangsangan termal mengeksitasi neuron-neuron sensorik aferen primer. Ketika sudah teraktivasi, sel-sel ini meneruskan sinyal-sinyal, melalui potensial aksi, dari jaringan-jaringan perifer menuju korda spinalis dan otak, dimana mereka diintegrasikan dan diinterpretasikan untuk memicu respon-respon refleksif dan kognitif yang tepat. Secara psikopsikis, kami merasa, panas dapat membuat tidak nyaman atau menghasilkan nyeri (membahayakan) ketika temperatur melebihi sekitar 430C , sedangkan ambang untuk suhu dingin yang membahayakan adalah sekitar 150C. protein yang memungkinkan neuron-neuron sensorik untuk membawa informasi temperatur adalah terutama dengan kanal ion yang diaktivasi oleh perubahan-perubahan spesifik pada temperatur dan termasuk kedalam keluarga TRP (gambar 1a.2). beberapa kanal TRP sensitif terhadap temperatur, ketika diaktivasi, mendepolarisasi terminal-terminal nosiseptor. Kanal TRVP1, aslinya bernama the vanilloid receptor 1 (VR1), adalah kanal ion yang permeabel terhadap kalsium, yang dijaga secara langsung oleh panas pada temperatur sekitar 430C, namun juga diaktivasi oleh Capsaicin dan proton-proton.

Gambar 1a.2. Capcaicin, bahan yang tajam/pedas dari cabai merica, ion-ion hidrogen dan panas yang membahayakan dapat mengaktivasi reseptor TRPV1, keterlibatan TRPV1 dalam sensasi nyeri panas telah ditunjukkan dalam berbagai macam metode, termasuk analisis kekurangan TRPV1 pada mencit. TRPV2, TRPM8, dan TRPA1 nampaknya juga sangat mungkin terlibat dalam sensasi nyeri termal, karena ambang batas aktivasi mereka berada dalam kisaran temperatur yang membahayakan. Sebagai tambahan terhadap salah satu keluarga TRP kanal K+, protein membran lainya seperti Na+, K+, ATPase, keluarga dari degenerin/kanal sodium epitelial (DEG/ENaC), dan reseptor-reseptor P2X, dilaporkan memiliki sifat termosensitif. Bagaimanapun, keterlibatan protein-protein itu dalam termonosisepsi masih perlu untuk ditegakkan.

Banyak nosiseptor mengekspresikan rseptor-reseptor ionotrofik (P2X) dan GProtein-coupled (P2Y) yang responsif terhadap adenosin trifosfat (ATP). Semua sel dalam tubuh mengandung konsentrasi ATP milimolar, yang dilepaskan jika sel-sel dilisiskan selama cedera lalu kemudian dapat mengaktifkan nosiseptor.reseptor-reseptor P2X3 yang secara selektif mengekspresikan predomninansinya pada neuron-neuron sensorik nosiseptif dengan diameter kecil. Serotonin (5-hydroxytryptamine (5-HT))yag dilepaskan dari sel-sel platelt dan sel mast setelah cendera jaringan. Reseptor-reseptor subtipe 5-HT3 17 dan 5-HT2A terdapat pada serabut-serabut C, bekerja bersama dengan mediator-mediator radang lainnya untuk mengeksitasi dan mensensitasi serabut-serabut saraf aferen (lihat bab 1b, mekanisme hiperalgesia inflamatorik).

Sensasi nyeri: somatik versus viseral
Untuk alasan yang jelas, fisiologi sensasi nyeri secara tradisionl telah diuraikan oleh pemeriksaan respon-respon terhadap stimuli yang berlangsung singkat yang dihantarkan ke kulit. Meskipun demikian, nyeri yang berasal dari viseral merupakan sebuah masalah klinis yang penting, dan sensasi nyeri viseral dan somatik berbeda dalam beberapa hal yang fundamental (tabel 1a.4). hal ini tidak mengejutkan ketika fungsi biologis dari inervasi sensorik kulit dan visera dipertimbangkan: sistem somatik memperingatkan adanya ancaman eksternal, sedangkan sistem viseral menyiagakan organisme terhadap bahaya penyakit internal. Perbedaan fungsional inin paling nyata ketika “stimuli yang efektif” untuk mengeksitasi nosiseptor somatik dan viseral dimasukkan kedalam pertimbangan. Stimuli termal dan mekanis merujuk pada diatas sebagai pengeksitasi nosiseptor somatik secara umum tidak efektif dalam membangkitkan nyeri ketika dihantarkan ke organ-organ dalam. Tentu saja, stimuli sensorik yang diterapkan kepada organ-organ internal parenkimatosa tertentu, sepeti paru-paru, hati, dan ginjal yang sehat nampaknya tidak menghasilkan persepsi sensasi apapun. Distensi atau kontraksi yang patologis dinding otot polos dari visera yang berrongga dan kapsula organ-organ parenkimatosa dapat membangkitkan nyeri, sebagai contoh nyeri kolik ureter atau persalinan, seperti juga iskemik dan inflamasi. Lokalisasi yang tepat dari sumber cedera secara biologis penting untuk cedera kutaneus, namun tidak untuk visera, dan aktifitas pasien mengenai hal ini mencerminkan hal tersebut.

Tabel 1a.4. sebuah perbandingan gambaran nyeri viseral dan somatik.
Visera Kutaneus
Stimuli efektif Trauma langsung tidak efektif Trauma langsung efektif
Distensi dan iskemik efektif
Lokalisasi tempat cedera Buruk Tepat
Hiperalgesia primer Ya Ya
Hiperalgesia sekunder Ya, pada tempat rujukan Ya,sekitartempatkerusakan
Gejala-gejala otonom terkait Biasa Tidak biasa
Mekanisme transduksi untuk nyeri yang berasal dari viseral berbeda dengan yang berasal sistem kutaneus, mencerminkan peranan biologis inervasi kutaneus dan viseal yang berbeda. Ufngsi sistem viseral adalah untuk memperingatkan akan penyakit internal daripada ancaman eksternal. Dengan demikian stimuli termal dan mekanis dengan intensitas tinggi secara umum tidak akan berpengaruh, sedangkan distensi, inflamasi, atau iskemi dan kontraksi otot polos viseral membangkitkan persepsi nyeri.

Aferen-aferen viseral memproyeksikan ke korda spinalis mewakili kurang dari 10% dari semua input aferen spinal. Masing-masing viskus diinervasi oleh dua saraf yang berbeda, khususnya saraf vagus dan sebuah saraf spinal (“splanchnic”). Neuron-neuron spinal second-order atas mana terminasi aferen-aferen viseral juga dari visera lain. Nosiseptor viseral telah teridentifikasi pada kebanyakan organ internal dan biasanya diklasifikasikan berdasarkan pada sifat mekanis mereka. Bagaimanapun, hal tersebut nampaknya bahwa sensitifitas kimia mereka oleh agen-agen yang bekerja secara lokal memainkan sebuah peranan yang lebih penting dalam memberikan sinyal dari keadaan nyeri yang relevan secara klinis daripada mekanosensitifitas mereka. Terdapat juga peningkatan bukti untuk peranan pokok beberapa elemen non-neural dalam pemberian sinyal dan transduksi kejadian-kejadian nosiseptif viseral: sebagai contoh, telah ditunjukkan bahwa ATP dan nitrit oksida (NO) yan dilepaskan dari sel-sel urotelial memodifikasi aktifitas dari aferen-aferen sensorik kandung kemih. Substrat molekuler yang mendasari sensitifits dari visera yang berbeda termasuk acid-sensing ion channel (ASIC), reseptor-reseptor TRPV1 dan purinergik (P2X), voltage-gated Na+ channels(kanal-kanal Na+ yang membuka menutup dengan voltase) (Nav 1,8) dan neuropeptida-neuropeptida dari family tackhynin. Terakhir, bukti yang muncul menyatakan bahwa satu badan sel sensorik viseral ganglion radix dorsalis dapat membangkitkan akson-akson yang menginervasi organ-organ yang berbeda, dan bahwa nosiseptor viseal yang tersembunyi nampaknya mewakili sebuah proporsi yang lebih besar dari inervasi viseral daripada yang pernah dilaporkan pada kulit.

KORDA SPINALIS
Proses sentral dari hampir keseluruhan neuron-neuron aferen primer memasuki korda spinalis melalui radix dorsalis, bagian yang berhubungan dengan persepsi nyeri terdapat pada bagian ventrolateral ari radix. Sementara kebanyakan neuron-neuron nosiseptif dengan segera memasuki kornu dorsalis pada tingkat segmental yang sama, sebuah rangkaian ukuran yang signifikan kearah kaudal atau rostral untuk beberapa segmen pada traktus Lissauer’s. neuron-neuron aferen primer bersinaps dengan neuron-neuron SSP (second order) pada kornu dorsalis (gambar 1a.3a). sebagai tambahan, akson-akson yang turun dari batang otak bersinapsis pada kornu dorsalis dan memodulasi transmisi nosiseptif.
Gambar 1a.3. anatomi dari korda spinalis (a) pengorganisasian kolumner dari substansia alba dari korda spinalis ditunjukkan oleh gambar. (b) skema Rexed’s untuk laminasi substansia grisea spinalis.

Anatomi: laminae Rexed
Kornu dorsalis dari korda spiunalis adalah titik penyampaian pertama untuk informasi sensoris yang disampaikan ke otak dari perifer. Substansia grisea spinalis mengandung badan sel saraf neuron-neuron medula spinalis dan substansia alba mengandung akson-akson yang naik ke atau turun dari otak. Pada tahun 1952, berdasarkan pada sitoarsitektur neuronal, Rexed membagi lagi substansea grisea kedalam 10 laminae (gambar 1a.3b). laminase I-VI berhubungan dengan kornu dorsalis dan mengandung interneuron dan neuron-neuron proyeksi yang menyampaikan informasi sensorik yang datang menuju otak.
Serabut-serabut nosiseptif berakhir terutama di kornu dorsalis superfisial, yang terdiri dari zona marginal (laminaI) dan subsatnsia gelatinosa (lamina II).beberapa serabut-serabut Aδ juga memproyeksikan jauh lebih dalam dan berakhir pada lamina V. pada kornu dorsalis, aferen-aferen nosiseptif membentuk hubungan dengan neuron-neuron proyeksi atau interneuron-interneuron eksitatorik lokal (glutamatergik) atau inhibitorik (GABAergik dan/atau glisinergik) untuk meregulasi aliran informasi nosiseptif menuju pusat yang lebih tinggi. Neuron-neuron ini juga berlokasi di laminae V dan VI (gambar 1a.4). dibawah kondisi fisiologi snormal, aferen-aferen taktil (sentuhan ringan) bersinaps pada lapisan III dan IV. Neuron-neuron aferen taktil dan nosisetif juga mempunyai sebuah input yang konvergen menuju neuron-neuron lamina V, baik secara langsung atau melalui interneuron-interneuron.
Gambar 1a.4. berakhirnya neuron-neuron aferen primer di kornu dorsalis dari korda spinalis. Neuron-neuron proyeksi pada lamina I menerima input langsung dari nosiseptor-nosiseptor Aδ bermielin dan input tidak langsung dari nosiseptor-nosiseptor C tidak bermielin melalui interneuron-interneuron sel batang yang berakhir ada lamina II. Neuron-neuron lamina V hamir secara keseluruhan adalah tipe dengan kisaran dinamik yang luas. Mereka menerima input ambang rendah dari mekanoreseptor-mekanoreseptor serabut-serabut Aδ bermielin dengan diameter besar, begitu juga input langsung maupun tidak langsung dari aferen-aferen nosiseptif Aδ dan C.

Tiga kategori utama sel-sel neuronal dapat diidentifikasi pada kornu dorsalis: neuron-neuron proyeksi dan interneuron-interneuron inhibitorik dan eksitatorik. Neuron-neuron proyeksi bertanggung jawab untuk menyampaikan lalu lintas aferen ke pusat yang lebih tinggi, dan tiga tipe neuronal yang berbeda secara disiologis dapat diidentifikasi:
  1. Sel-sel spesifik terhadap nosiseptif (NS) memiliki respon secara eksklusif terhadap stiuli yang membahayakan, mempunyai lapangan penerimaan yang kecil dan menonjol pada lamina I, namun juga ditemukan pada lamina II dan V.
  2. Neuron-neuron ambang batas rendah (LT) memberikan respon semata-mata pada stimuli yang tidak membahayakan dan menonjol pada lamina III dan IV.
  3. Neuron-neuron dengan kisaran dinamik yang lebar (WDR) yang memberikan respon terhadap suatu kisaran stimuli sensorik. Neuron-neuron WDR menerima input yang memusat dari sejumlah besar neuron-neuron aferen primer dengan kisaran yang bermacam-macam dari modalitas sensorik yang berlainan dan sebagai akibat memiliki lapangan reseptif yang besar. Neuron-neuron WDR sebagian besar ada pada lamina V.
Dibandingkan dengan serabut-serabut somatik, nosiseptor-nosiseptor viseral lebih sedikit jumlahnya, terdistribusi lebih luas, secara seimbang mengaktifkan sejumalh besar neuron-neuron spinal, dan tidak sama terorganisir dengan baik secara somatotropik. Aferen-aferen viseral berakhir terutamanya pada lamina V dan agak kurang pada lamina I. kedua lamina ini mewakili konvergensi sentral antara input somatik dan viseral, sebuah ciri penting untuk fisiologi “referred” pain/nyeri alih yang berhubungan dengan cedera viseral (lihat mekanisme referred pain).

Neurotransmiter-neurotransmiter pada kornu dorsalis
Berbagai macam neurotransmiter terlibat dalam pengiriman sinyal nosiseptif pada kornu dorsalis (tabel 1a.5). sedangkan asam amino dan neuropeptida tertentu memainkan sebuah peranan yang utama, tidak ada bukti yang meyakinkan untuk eksistensi sebuah “neurotransmiter nyeri” yang tunggal. Kenyataannya, identifikasi dari sebuah peptida spesifik dengan sebuah kelas fisiologis reseptor sensorik yang spesifik yang tidak mungkin mengingat bahwa koeksistensi, dalam berbagai kombinasi, dari hingga empat peptida pada neuron-neuron ganglia radix dorsalis tunggal. Lagi pula, distribusi neuropeptida dalam berbagai macam jaringan dapat sangat berbeda. Sebagai contoh, pada umumnya, neuron-neuron ganglia radix dorsalis yang menginervasi target-target viseral kayak akan substansi P (SP) dan calcitonin generated peptide (CGRP) dibandingkan dengan yanng menginervasi kulit. Konsentrasi peptida pada neuron-neuron ganglia radix dorsalis berubah setelah cedera jaringan dan perubahan ini membuat bertahan lebih lama nyeri yang dicetuskan oleh rangsangan nyeri. Hal ini mengindikasikan bahwa cedera jaringan dapat merubah fenotip biokimia dari neuron aferen primer.



Tabel 1a.5. neurotransmiter-neurotransmiter pada kornu dorsalis yang memediasi/memodulasi nyeri.
Neutrotransmiter reseptor efek pada sensasi nyeri
Nonpeptida
Monoamin
Norepinefrin α2 inhibitorik
5-HT 5-HT1, (5-HT2),( 5-HT3) inhibitorik
Asam amino
Inhibitorik
GABA GABAA, GABAB inhibitorik
Glisin inhibitorik
Eksitatorik
Glutamat NMDA, AMPA, kainat, mGIuR Eksitatorik Aspartat NMDA, AMPA, kainat, mGIuR Eksitatorik
NO cGMP Eksitatorik
Asetilkolin muskarinik inhibitorik
Peptida
Opioid
Enkefalin δ (DOR), κ (KOR), µ (MOR) inhibitorik
Β-endorfin δ (DOR), κ (KOR), µ (MOR) inhibitorik
Nosiseptin nosiseptin/orfanin F/Q NOP (OP4) Eksitatorik/
Inhibitorik
Non-opioid
Substansi P NK1 Eksitatorik
CGRP CGRP Eksitatorik
CCK CCKB Antagonisa
Galanin GAL Inhibitorik
Somatostatin sst Inhibitorik
Neuropeptida Y Y1, (Y2) Inhibitorik
Neurotensin NTS, Inhibitorik
Bradikinin B2, B1 Eksitatorik
Lain-lain
Adenosin A1 Inhibitorik
Purin P2X3 Eksitatorik
Sitokin Eksitatorik
Capsaicin TRPV1 Eksitatorik
Cannabioid CB1, CB2 Inhibitorik
a antagonis fungsional analgesia yang diinduksi opioid
norepinefrin (noradrenalin), 5-HT, 5-hidroksitriptamin, AMPA, α-amino-3-hidroksi-5-metil-4-isaxazole asam propionat; CCK, kolesistokinin; cGMP, siklik guanosin monofosfat; CGRP, calcitonin gene-related peptide; DOR, delta opioid receptor; GABA, gamma-aminobutyric acid; KOR, Kappa opioid rceptor; mGIuR, metabotrophic glutamate receptor; MOR, mu opioid receptor; NK, neuokinin; NMDA, N-methyl-D-aspartate; NO, nitrit oksida.

Sebagai tambahan terhadap interaksi diantara peptida-peptida, terdapat juga interaksi antara peptida-peptida dengan transmiter-transmiter asam amino eksitatorik pada neuron-neuron kornu dorsalis. Stimulasi yang membahayakan menimbulkan pelepasan glutamat dan asam amino yang lainnya yang terjadi bersamaan dengan peptida-peptida pada ujung aferen primer. Asam amino glutamat dan aspartat adalah partisipan utama dalam transmisi eksitatorik pada tingkat spinal. Substansi-substansi ini disimpan dalam terminal nosiseptor-nosiseptor aferen primer dan dilepaskan sebagai respon terhadap aktifitas nosiseptif. Aplikasi eksogen dari asam amino-asam amino ini mereplikasi sensasi nyeri spinal dan antagonin memiliki kualitas analgesik. Potensial pascasinaptik eksitatorik cepat yang dibangkitkan oleh glutamat pada subtipe α-amino-3-hydroxi-5-methyl-4-isaxazole propionic acid (AMPA) dari reseptor glutamat secara prinsip terlibat dalam transmisi kedepan dari informasi nosiseptif dibawah kondisi fisiologis. Kondisi yang diperlukan untuk aktivasi reseptor N-methyl-D–aspartate (NMDA) yang diinduksi glutamat merupakan reaksi yang komplek dan nampaknya hanya dapat diperoleh setelah aktifitas yang terjaga dalam neuron-neruon aferen primer serabut C. neuropeptida semacam SP dan CGRP disimpan bersamaan dalam neuron-neuron glutamanergik dan juga dilepaskan dari terminal-terminal nosispetor spinal sebagai respon terhadap aktifitas aferen. Neuropeptida-neuropeptida ini kemungkinan memainkan sebuah peranan fasilitatorik (neuromodulator) terhadap asam amino eksitatorik.
Sebagai tambahan terhadap efek-efek interneuron-interneuron GABA dan atau glisinergik, terdapat sejumlah neurotransmiter inhibitorik lainnya yang memodulasi sensasi nyeri pada tingklat segmental kornu dorsalis. Somastatin memainkan sebuah peranan penting dalam modulasi nyeri baik pada pusat maupun perifer. Penelitian-penelitian telah menunjukkan aktivasi reseptor somatostatin perifer pada aferen-aferen primer mencegah sensitisasi periferal, memodulasi reseptor-reseptor TRPV1, memberikan kontrol inhibitorik tonik pada nosiseptor, dan berperan terhadap analgesia akibat counterirritation. Satu peran dari opioid endogen pada tingkat spinal adalah untuk menghiperpolarisasi neuron-neuron aferen primer dan dengan demikian mengatenuasi pelepasan neurotransmiter sebagai respon terhadap stimulus nosiseptif. Sejumlah molekul-molekul lain memainkan peran dalam modulasi spinal pada sensasi nyeri, misalnya adenosin, adrenergik α2, taurin, dan cannabinoid endogen (lihat tabel 1a.5 dan dibawah pada modulasi pesan nosiseptif). Faktor-faktor neurotrofik yang mendukung kemampuan bertahan dan pertumbuhan neuronal selama perkembangan sistem saraf, telah menunjukkan dapat memainkan peranan yang signifikandalam transmisi nyeri yang fisiologis dan patologis. Brain-derived neurotrophic factor (BDNF), disintesa pada neuron-neuron sensorik primer, secara anterograde ditranspor menuju terminal sentral dari aferen-aferen primer pada kornu dorsalis medula spinalis, dimana hal itu terlibat dalam modulasi stimuli yang menyakitkan.
Milkroglia, oligodendrosit, dan astrosit membentuk sekelompok besar sel-sel glial SSP. Hal ini tidak diaktivasi dibawah kondisi basal dan nampaknya tidak mempengaruhi sensitifitas nyeri. Namun, mikroglia diaktivasi oleh kejadian-kejadian seperti cedera SSP, invasi mikroba, dan beberapa keadaan nyeri, yang membawa kepada peningkatan produksi berbagai macam sitokin peradangan, dan substansi-substansi lainnya yang secara potensial menghasilkan nyeri (lihat bab 1b, mekanisme hiperlagesia inflamatorik).

Mekanisme referred pain
Karakteristik klinis dari nyeri yang menemani cedera viseral adalah bahwa hal itu seringkali dirasakan oleh penderita seperti timbul ari struktur somatik yang berbeda. Contoh klasik adalah nyeri yang terjadi segera setelah iskemik imokard yang seringkali dirasakan seperti tersebar sepanjang lengan kiri. “nyeri alih” semacam itu cenderung dirasakan seperti timbul ari struktur somatik yang berbagi asal segmental medula spinalis umum yang sama secara embriologis dengan viskus yang cedera. Meskipun mekanisme fisiologis dari nyeri alih masih tak jelas, bobot bukti menyatakan bahwa hal tersebut merupakan fenomena yang dimediasi melalui medula spinalis. Terdapat tiga teori utama nyeri alih: (1) konvergensi akson (atau refleks akson), (2) teori proyeksi, (3) dan teori talamik. Tak satupun dari ini semua yang terpisah satu sama lain. (gambar 1a.5).


Gambar 1a.5. Berbagai macam mekanisme teoretis nyeri alih. (a) konvergensi akson/teori refleks. Neuron-neuron sensorik primer memiliki akson-akson yang bercabang yang menginervasi target-target somatik dan viseral. SSP tidak mampu untuk membedakan antara input semacam itu dengan input nosiseptif viseral yang disalah artikan sebagai berasal dari somatik. Sementara terdapat beberapa bukti eksperimental untuk mendukung hipotrsis ini, hal tersebut tidak secara umum diterima sebagai penjelasan nyeri alih. (b,c) teori-teori konvergensi. Terdapat dua varian dari teori ini, proyeksi (b) dan fasilitasi (c). keduanya membutuhkan konvergensi sinyal aferen somatik dan viseral pada neuron-neuron kornu dorsalis tunggal. Secara umum, proporsi yang lebih besar dari neuron-neuron aferen adalah berasal dari somatik dan, oleh karena itu informasi aferen viseral dirasakan seperti berasal dari somatik. Sungguh, mungkin terdapat kekurangan yang menetap dari kemampuan persepsi nyeri viseral ketika tida terdapat input somatik. (b) teori konvergensi-proyeksi. Neuron-neuron aferen viseral berpusat pada neuron-neuron proyeksi nyeri medula spinalis yang sama sebagai neuron-neuron aferen nosiseptif dari struktur somatik dimana nyeri dirasakan. Otak tidak mampu untuk membedakan antara input viseral dan somatik dan secara sembarangan “memproyeksikan” sensasi tersebut ke struktur somatik. (c) teori konvergensi-fasilitasi. Aktifitas yang terjaga pada serabut-serabut aferen viseral merubah keadaan eksitabilitas dari neuron-neuron kornu dorsalis dengan input aferen viseral dan somatik yang konvergen. Hal ini menciptakan sebuah ‘‘irritable focus’’ yang memfasilitasi proses kedepan dari lalu lintas subliminal yang berasal dari somatik secara normal, sehingga input somatik secara sem\gmental lainya yang tepat sekarang dapat menghasilkan sensasi nyeri alih yang abnormal tentu saja. Sementara kedua teori ini (b) dan (c) menjelaskan aturan segmental, teori konvergensi-fasilitasi mempunyai kelebihan dalam menjelaskan fenomena referred hiperalgesia dan konsep sensitisasi pusat, yang memberikan bobot pada tingkat kepercayaannya. (d) teori talamik. Interaksi pada tingkat supraspinal (talamus) membawa kepada fenomena nyeri alih. Meskipun teori talamik diangap tidak mungkin, adanya jalur asending spinal yang berbeda untuk nosiseptor viseral memberi dukungan untuk hipotesis ini. Bagaimanapun, referred hiperalgesia dan sifat alami nyeri alih sulit untuk diperhitungkan dengan teori talamik semata.

Nyeri alih dari visera sebagian akibat sensitisasi sentral neuron-neuron konvergen viserosomatik (dipicu oleh serangan viseral aferen yang masi), namun juga kemungkinan hasil dari aktivasi lengkung refleks (input viseral memicu kontraksi otot refleks yang sebagai gantinya bertanggung jawab untuk sensitisasi nosiseptor-nosiseptor otot), bagaimanapun, nyeri alih dari struktur somatik yang lebih dalam tidak dijelaskan oleh mekanisme sensitisasi sentral neuron-neuron konvergen dalam bentuk aslinya, karena terdapat sedikit konvergensi dari jaringan yang dalam pada neuron-neuron kornu dorsalis. Telah diajukan bahwa koneksi ini, tidak muncul dari permulaan, dibuka oleh input nosiseptif dari otot skelet, dan peralihan ke miotom (sekelompok otot yang dipersarafi oleh segmen spinalis tunggal) diluar dari lesi hasil dari penyebaran sensitisasi sentral pada segmen spinal tambahan.
DARI KORDA SPINALIS KE OTAK
Input nosiseptif menuju kornu dorsalis diteruskan ke pusa yang lebih tinggi di otak melalui beberapa jalur asending; traktus spinotalamikus, secara klasik dianggap sebagai jalur nyeri yang utama; proyeksi secara spinomedular dan spinobulbar ke daerah medula dan batang otak yang penting untuk kontrol homeostatik; dan traktus spinotalamikus ke hipotalamikus dan otak depan bagian ventral. Proyeksi spinal ke tempat-tempat lain, seperti serebelum atau nukleus retikuler lateralis, lebih terlibat dalam integrasi sensorimotorik dibandingkan transmisi nosiseptif secara langsung. Bukti yang ada memberi kesan bahwa mungkin terdapat jalur lain, misalnya jalur spinopontoamigdalaoid dan sebuah jalur tambahan untuk nyeri viseral asending pada funikulus posterior.
Jalur spinotalamikus
Traktus spinotalamikus/ the spinothalamic track (STT) berasal ari neuron-neuron pada laminae I dan V-VII, dan berisi akson-akson dari neuron-neuron spesifik nosiseptif dan kisaran dinamik yang lebar. Mayoritas (85%) akson-akson traktus spinotalamikus menyilang dan naik secara kontralateral. Sel-sel lamina I membentuk STT lateral dan berproyeksi ke talamus (khususnya bagian posterior dari nukleus medialis ventralis (Vmpo), lalu ke korteks insular dan memediasi pesepsi nyeri emosional otonomik dan tidak menyenangkan. Neuron-neuron laminae yang lebih dalam membentuk STT anterior dan berproyeksi pada nukleus posterolateralis ventralis dari talamus dan membawa aspek pembeda dari nyeri (misalnya loksi, intensitas, dan durasi). Beberapa serabut spinotalamikus juga berproyeksi ke substansea grisea periaquaduktal (menciptakan hubungan dengan jalur desenden), sistem pangaktif retikuler, dan hipotalamus (kemungkinan berperan terhadap timbulnya respon terhadap nyeri).
Jalur spinobulber
Jalur spinobulber asenden berproyeksi pada beberapa tempat didalam batang otak, yang mengikutsertakan nukleus parabrankial, periaqueductal gray (PAG), kelompok sel katekolamin (A1-A7), dan formasi retikuler batang otak. Jalur spinoparabrankial sebagian besar berasal dari neuron-neuron lamina I yang mengekspresikan reseptor NK1, dan area parabrankial adalah tempat utama untuk integrasi nosiseptif dan homeostatik pada batang otak. Jalur ini memberi sinyal intensitas stimuli yang membahayakan, mempunyai lapangan penerimaan yang besar dan memberikan input pada bagian otak yang terlibat dalam komponen emosional atau afektif dari nyeri. Dari area parabrankial, neuron-neuron berproyeksi ke hipotalamus dan komponen-komponen amigdala dari sistem limbik. (gambar 1a.1b).
Proyeksi ke kelompok sel katekolamin, seperti lokus koeruleus atau A7, terlibat dalam integrasi fungsi kardiorespiratorik dan otonomik, dan berhubungan dengan mekanisme modulatorik desenden. PAG juga menerima input spinal (sebagian besar sel-sel lamina I, namun juga lamina VII), terlibat dalam kontrol homeostatik, dan terintegrasi dengan jalur modulatorik desenden, khususnya melalui proyeksi ke medula rostroventromedial (RVM).

DI OTAK
Dengan mengikuti jalur proyeksi yang berasal di daerah nosiseptif dari kornu dorsalis medula spinalis (lamina I dan V), memungkinkan untuk mengasosiasikan daerah otak dengan fungsi nosiseptif. Dengan demikian telah diidentifikasi beberapa inti dari talamus lateralis (nekleus lateralis ventral posterior, nukleus medialis ventral posterior, nukleus inferior ventral posterior, bagian posterior nukleus ventromedialis) dan talamus medialis (talamus sentrolaterlis, nukleus medio dorsalis bagian ventro kaudal, nukleus parafsicular) yang mengubah proyeksi ke area korteks. Area kortikal yang berperan pada fungsi nosiseptif meliputi: korteks somatosensori primer (S1), korteks somatosensori sekunder (S2), dan sekitarnya dalam operkulum parietal, insula, korteks singulata anterior, dan korteks prefrontal. Dengan demikian , beberapa daerah kortikal diaktifkan oleh rangsangan nyeri (Gambar 1a.6).
Nyeri adalah pengalaman multidimensi termasuk komponen komponen sensorik diskriminatif dan afektif. Baru-baru ini Sebuah kemajuan besar baru-baru dalam memahami mekanisme pusat pengolahan nyeri telah berkembang dari aplikasi pencitraan otak dengan positron emission tomography (PET) dan functional magnetic resonance imaging (fMRI). Hasil penelitian dari beberapa kelompok kerja yang melakukan eksperimen induksi nyeri pada sukarelawan yang sehat telah menunjukkan penurunan aliran darah secara global, serta peningkatan aliran darah serebral regional di daerah otak yang berperan dalam fungsi nosiseptif (lihat juga Gambar 1a.6). Suatu aspek baru yang penting dalam hubungan pencitraan PET dengan penilaian psikologis adalah kemungkinan menghubungkan pengolahan dimensi nyeri spesifik dengan suatu substrat anatomi sirkuit nyeri di otak: (1) fungsi gating yang dicerminkan oleh ambang nyeri tampaknya berhubungan dengan korteks singulata anterior, korteks frontal inferior, dan thalamus; (2) pengkodean intensitas nyeri pada periventrikular grey dan korteks singulata posterior (3) pengkode perasaan nyeri yang tidak nyamanan pada sektor posterior dari korteks singulata anterior. (1) fungsi gating yang dicerminkan oleh ambang nyeri tampaknya berhubungan dengan korteks singulata anterior, korteks frontal inferior, dan thalamus; (2) pengkodean intensitas nyeri pada periventrikular grey dan korteks singulata posterior (3) pengkodean perasaan nyeri yang tidak nyamanan pada sektor posterior dari korteks singulata anterior. Selanjutnya, peneliti mempertimbangkan dampak dari sifat-sifat individu dan konteks dari pengalaman nyeri (misalnya perhatian atau gangguan) pada aktivitas otak depan yang ditimbulkan oleh stimuli noxious.

Gambar 1a.6 (a) Jalur aferen dan interkonektivitas regio kortikal dan subkortikal otak yang terlibat dalam persepsi nyeri. (b) Gambaran resonansi magnetik potongan koronal dan sagital yang menunjukkan bidang yang sesuai dengan yang ditampilkan pada bagian (a). ACC, anterior cingulate cortex; Amyg, amygdala; BG, basal ganglia; HT, hypothalamus; M1, primary motor cortex; PAG, periaqueductal gray; PB, parabrachial nuclei; PCC, posterior cingulate cortex; PPC, posterior parietal cortex; PF, prefrontal cortex; S1 and S2, primary and secondary somatosensory cortices; SMA, supplementary motor cortex. Gambar ini diterbitkan pada Apkarian AV, Bushnell MC, Treede RD, Zubieta JK. Human brain mechanisms of pain perception and regulation in health and disease. European Journal of Pain. 2005; 9: 463–84, Hak Cipta Elsevier.

Yang terakhir, baru-baru ini diketahui bahwa aktivitas kortikal sangat tergantung pada interaksi timbal balik dengan thalamic relay karena ada hampir sepuluh kali lebih banyak serat yang memproyeksikan kembali dari S1 ke thalamus ventrobasal karena terdapat direksi maju dari talamus ke korteks. Dengan demikian, peningktan aktivitas dalam neuron S1 kortikofugal dapat menciptakan zona peningkatan aktivitas dalam lengkung talamokortikal yang memediasi diskriminasi antara sensasi taktil dan menyakitkan.

MODULASI TERHADAP PESAN NOSISEPTIF
Adalah suatu hal yang dapat diamati secara umum bahwa dalam keadaan tertentu persepsi nyeri tidak selalu merupakan konsekuensi dari cedera jaringan dan nosisepsi. Untuk menjelaskan hal ini, perlu untuk berhipotesis bahwa "jalur nyeri" memiliki peran yang lebih kompleks daripada sekedar menyampaikan informasi sensorik dari nosiseptor ke otak, tetapi juga dapat mengatur jalur informasi aktivitas nosiseptif. Ada sejumlah tempat di mana modulasi mungkin terjadi, tetapi kebanyakan yang diketahui terletak antara sistem saraf perifer dan pusat di kornu dorsalis medula spinalis. Eksitabilitas neuron saraf medula spinalis tergantung pada keseimbangan input dari nosiseptor aferen primer, neuron saraf medula spinalis intrinsik, dan sistem proyeksi desenden dari supraspinal.
Kontrol modulasi segmental(medulas spinalis)
Modulasi kontrol segmental medula spinalis terhadap aktivitas nosiseptif melibatkan sistem opioid endogen, inhibisi segmental, keseimbangan aktivitas antara nosiseptif dan input aferen lainnya, dan mekanisme kontrol operatif desenden.
Gambar 1a.7 Diagram skematik yang menggambarkan pelepasan neurotransmitter dan neuropeptida dari serabut C serta efek selanjutnya dan interaksi antara sistem eksitasi dan inhibisi yang berbeda pada neuron kornu dorsalis. Neuron aferen primer melepaskan berbagai neuropeptida dan eksitatorik asam amino dalam menanggapi stimuli noxious. Aktivitas ini terjadi pada beberapa reseptor pasca sinaptik. Selain itu peptida opioid bekerja pada reseptor opioid pra-dan pasca sinaptik (aksi presinaptik yang dominan) untuk memodulasi pelepasan transmiter dan aktifitas firing of second-order nosiseptor. (Dicetak ulang dengan izin dari Elsevier (The Lancet 1999;. 353, 1610-1615)).
Reseptor opioid di medula spinalis merupakan penentu produksi analgesia. Ada empat kelas reseptor opioid: delta, d (Dor); kappa, k (KOR); mu, m (MOR), dan nociceptin / orphanin F / Q, NOP (sebelumnya dikenal sebagai ORL1 atau OP4). Banyak peptida opioid endogen berasal dari salah satu gen yang menyandikan prekursor glikoprotein besar terhadap peptida yang aktif secara fisiologis. Anggota keluarga peptida masing-masing terletak di lokasi yang terkait dengan pengolahan atau modulasi nosisepsi, khususnya dalam lamina I dan II dari kornu dorsalis medula spinalis. Pada tingkat ini, mekanisme utama analgesik opioid adalah dengan penghambatan pelepasan neurotransmiter presinaptik dari neuron aferen primer nosiseptif yang dicetuskan oleh cedera (lebih dari 70 persen dari sejumlah reseptor m medula spinalis terletak di terminal aferen primer). Opioid endogen juga tampaknya menyebabkan beberapa penghambatan pasca sinaptik langsung terhadap neuron nosiresponsif kornu dorsalis, termasuk sel-sel proyeksi. Singkatnya, masing-masing dari empat kelas utama reseptor opioid dapat menyebabkan modulasi yang diinduki opoid dari transmisi informasi nosiseptif pada kornu dorsalis.
Transmisi input nosiseptif di medula spinalis dapat dihambat oleh aktivitas segmental di medula itu sendiri, serta aktivitas saraf desenden dari pusat supraspinal (lihat di supraspinal/descending control). Inhibisi GABA dan glisin interneuron memainkan peran penting dalam penghambatan nyeri segmental di medula spinalis. GABA ditujukan untuk memodulasi transmisi aferen dari informasi nosiseptif melalui mekanisme prasinaptik dan pasca sinaptik. Konsentrasi GABA yang tertinggi terdapat di kornu dorsalis medula spinalis, yang merupakan inhibitor transmiter utama. Studi nosisepsi akut menunjukkan bahwa transmisi aferen terhadap informasi nosiseptif di medula spinalis merupakan subjek modulasi oleh aktivitas pelepasan GABA secara endogen yang bekerja di reseptor baik pada GABAA atau GABAB. GABA dan glisin terdapat di tempat yang sama pada banyak neuron di kornu dorsalis, dan pada kenyataannya hampir setiap neuron glisin-immunoreactive dalam lamina I-III juga mengandung GABA. Mekanisme yang memodulasi transmisi aferen glisin di kornu dorsalis adalah salah satu dari penghambatan pasca sinaptik; reseptor glisin mendominasi reseptor pasca sinaptik di kornu dorsalis.
Pemahaman kita tentang aktivitas ganja dimulai dengan isolasi dan sintesis D9-tetrahydrocannabinol, yang merupakan konstituen utama zat psikoaktif nya. Dua subtipe dari reseptor kanabinoid telah diidentifikasi dan diklon, yaitu CB1 dan CB2. kanabinoid sintetik telah dideskripsikan dan sistem endokanabinoid telah diidentifikasi (anandamide dan 2-arachidonyl gliserol). Potensi aksi antinosiseptif dari kanabinoid, saat ini telah ditunjukkan dalam studi hewan dan dalam beberapa uji klinis. Diperlukan studi lebih banyak untuk menetapkan potensi analgesik kanabinoid pada manusia. Mekanisme aksi untuk antinosisepsi kanabinoid mencakup baik aksi pada medula spinalis maupun supraspinal, serta mekanisme perifer terbaru diakui. Reseptor CB1 kanabinoid telah diidentifikasi di medula spinalis dan pada neuron aferen primer, di mana mereka terletak dengan ideal untuk memodulasi aktivitas neuron kornu dorsalis. Bukti menunjukkan bahwa kanabinoid dan endokanabinoid dapat bekerja pada interneuron medula spinalis untuk memodulasi pelepasan neurotransmiter serta transmisi nyeri. Dan yang terakhir, reseptor CB2 kanabinoid ditemukan dalam sistem imun dan berperan dalam efek anti-inflamasi dan antinosiseptif dari kanabinoid.
Modulator lain dalam fungsi nosisepsi - satu gas (oksida nitrat) dan dua peptida (cholecystokinin dan galanin) - juga telah dipelajari secara luas. Oksida nitrat (NO=nitric oxide) telah diakui memiliki peran penting dalam sistem saraf, baik sebagai massenger kedua intraseluler dan sebagai bentuk neurotransmitter pra sinaptik. NO mengambil bagian dalam banyak aspek dari proses persepsi nyeri (radang, transmisi saraf). Oleh karena itu, NO telah terbukti memiliki peran pronosiseptif atau antinosiseptif dalam persepsi nyeri. NO memainkan peran sebagai fasilitator dalam proses transmisi nyeri saraf terutama di medula spinalis. Ini telah dikonfirmasikan oleh fakta bahwa inhibitor NOS (nitric oxides) dapat mengurangi perilaku nyeri pada berberbagai bentuk nyeri. Namun, jalur NO/cGMP terlibat dalam mekanisme aksi dari beberapa obat analgesik dan donor NO (nitrogliserin, L-arginin) yang telah terbukti memiliki sifat antinosiseptif, terutama di perifer.
Gambar 1a.8 kornu dorsalis tidak hanya merupakan jalur untuk transmisi informasi nosiseptif, tetapi juga tempat modulasi sinyal yang cukup baik. Pada tahun 1965, dalam upaya untuk menjelaskan pengamatan klinis terhadap kerusakan jaringan dan aktivasi nosiseptor perifer yang tidak selalu menghasilkan persepsi nyeri, Melzack dan Wall merumuskan teori gate control nyeri. Mereka mengemukakan bahwa di dalam medula spinalis, terdapat sebuah "gerbang" fisiologis, dan tergantung pada derajat pembukaan gerbang ini, informasi nosiseptif diizinkan atau dicegah untuk naik ke otak. Sistem kontrol desenden menampilkan tempat aksi opioid yang dipostulatkan pada transmisi nyeri. Masing-masing lokasi berisi neuron yang berpotensi mampu modulasi "penembakan" neuron proyeksi nosiseptif. 5-HT, 5-hidroksitriptamin.
Cholecystokinin (CCK) merupakan keluarga gastrin peptida dan didistribusikan secara luas dalam sistem saraf, di mana telah ditunjukkan sebagai neurotransmitter yang memediasi banyak fungsi penting. CCK tampaknya memiliki keterlibatan yang penting tapi kompleks dalam transmisi dan modulasi nosiseptif. Peran yang paling jelas dan tampaknya fisiologis untuk CCK adalah bahwa ia merupakan antagonis fungsional analgesia yang diinduksi oleh opioid.
Gambar 1a.9 (a) Tinjauan tentang banyaknya mekanisme yang terlibat dalam modulasi aktivitas jalur mediasi descending inhibiton (DI) dibandingkan dengan descending facilitation (DF). Yang bekerja secara langsung dan tidak langsung melalui intervensi neuron. Untuk mekanisme modulasi DI, pada banyak keadaan, saat aktifitas sel "OFF" di medula rostroventromedial neuron serotonergik dan dan noradrenergik yang terlibat, namun tentu juga mekanisme tambahan. Untuk mekanisme modulasi DF, saat aktifitas sel''ON" di medula rostroventromedial dan jalur desenden melepaskan transmiter cenderung terlibat tetapi mereka tetap kurang didefinisikan. Pada tingkat kornu dorsalis, perhatikan bahwa jalur mediasi DI dan DF memberikan pola kebalikan dari pengaruh primary afferent fiber (PAF) terminals, projection neurones (PNs), excitatory interneurones (EXINs) and inhibitory interneurones (ININs). ACh, acetylcholine; b-EP, b-endorphin; CB, cannabinoid; CCK, cholecystokinin; DRG, dorsal root ganglion; DYN, dynorphin; EM, endomorphin; ENK, enkephalin; GABA, gamma-hydroxy-butyric acid; GLU, glutamate; Hist, histamine; musc, muscarinic; NA, noradrenaline; NE, norepinephrine; nic, nicotinic; NMDA, N-methyl-D-aspartate; NO, nitric oxide; NPVF, neuropeptide VF; NT, neurotensin; OFQ, orphanin FQ (nociceptin); SP, substance P. (Gambar ini dipublikasikan di Millan MJ. Descending control of pain. Progress in Neurobiology. 2002; 66: 355–474, Hak cipta Elsevier) (b)

Tempat interaksi antara CCK dan opioid ada banyak, tapi medula spinalis adalah tempat yang penting. Ini menunjukkan bahwa CCK tidak mengubah ambang awal nyeri tetapi mengurangi afinitas pengikatan ligan MOR (m reseptor opioid) dan juga membalikkan peristiwa intraseluler setelah aktivasi reseptor opioid. Jadi, antagonis CCK adalah potensi target yang menarik untuk meningkatkan analgesia opioid.
Galanin adalah neuropeptida yang didistribusikan secara luas dalam sistem saraf dan terdapat dalam populasi kecil di neuron sensorik primer dan juga di medula spinalis interneurons. bukti yang mendukung peran antinosiseptif untuk galanin telah diperoleh dari studi-studi elektrofisiologi di mana galanin menghiperpolarisasikan mayoritas neuron kornu dorsalis. Dalam kondisi normal, galanin dilepaskan pada stimulasi serabut C dan memainkan peran penghambatan dalam mediasi rangsangan medula spinalis. Studi tentang interaksi antara galanin dan morfin mendukung peran antinosiseptif dari galanin: disarankan bahwa efek medula spinalis dari morfin diperantarai sebagian oleh aksi penghambatan terhadap galanin.
Proteinase, seperti trombin, tripsin, dan tryptase dilepaskan selama trauma dan inflamasi, memberikan efeknya dengan mengaktifkan proteinase-activated receptors (PAR). Proteinase-activated receptor-2 (PAR2) diekspresikan oleh neuron aferen primer medula spinalis, dan PAR2 agonis (seperti tripsin atau tryptase) yang merangsang pelepasan substansi P dan CGRP pada jaringan perifer. Bukti terbaru menunjukkan bahwa agonis dari PAR2 memberikan sinyal neuron aferen primer menyebabkan hiperalgesia dan berkelanjutan. Agonis ini menginduksi sensitisasi neuron kornu dorsalis dan pelepasan prostaglandin. Oleh karena itu, disebutkan bahwa proteinase, bekerja sebagian melalui PAR2, memiliki peran dalam transmisi nyeri.
Purin, seperti adenosin dan ATP adalah ligan endogen yang terlibat dalam modulasi transmisi nyeri dengan bekerja pada purinoseptor P1 dan P2 baik di jaringan perifer dan walaupun SSP. Yang jelas diketahui bahwa sebagian besar reseptor P2 adalah subtipe P2X3, yang ditemukan dalam neuron sensorik primer (hanya dalam neuron nonpeptidergik). Beberapa subtipe purinoseptor adalah target molekul potensial untuk pengobatan nyeri.
Singkatnya, modulasi segmental nosisepsi telah dipelajari secara ekstensif dan banyak neurotransmiter dan reseptor (Tabel 1a.5) yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis telah diidentifikasi, tetapi peran dari beberapa zat ini tetap tidak jelas, sedangkan peran yang lainnya dalam proses nyeri telah relatif ditetapkan. Hal ini lebih rumit oleh fakta bahwa beberapa peptida yang terlibat tidak hanya terlokalisasi dalam neuron aferen primer terminal, tetapi juga di neuron intrinsik dan serabut desenden. Akhirnya, kompleksitas tambahan disebabkan oleh koeksistensi beberapa peptida dan neurotransmiter klasik di neuron yang sama.

Kontrol supraspinal/desenden
Aktivitas neuron di medula spinalis yang menerima input dari serat nosiseptif dapat diubah oleh input dari neuron aferen nonnosiseptif lain. Konsep ini mendasari Melzack dan Wall pada tahun 1965 untuk teori gate control (Gambar 1a.8). Menurut model ini, aktivitas di aferen Ab menghambat neuron kornu dorsalis untuk menanggapi input dari serabut Ad dan C. Dengan demikian, nyeri dapat dihilangkan dengan stimulasi dari serat aferen bermielin. Penggunaan stimulasi listrik saraf transkutan untuk menghilangkan nyeri dalam praktek klinis adalah sebagian didasarkan pada teori ini (untuk rincian lebih lanjut, lihat bab 14 ranscutaneous electrical nerve stimulation (TENS) dan akupuntur untuk nyeri akut).
Sebuah jaringan proyeksi jalur desenden dari struktur otak ke kornu dorsalis memainkan peran yang kompleks dan penting. Penelitian awal menetapkan bahwa pengaruh jalur desenden adalah mengaktifkan terutama fungsi inhibisi. Namun, kita sekarang tahu bahwa jalur sentrifugal tertentu baik menekan (hambatan desenden) atau mempotensiasi (fasilitasi desenden) pesan nosiseptif ke otak (Gambar 1a.9) Bukti yang dikumpulkan menunjukkan bahwa pengaruh fasilitasi desenden dapat berkontribusi untuk pengembangan dan pemeliharaan nyeri kronis.