I.
PENDAHULUAN
Sindrom
nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuria
massif ≥ 3,5 g/hari, hipoalbuminemua < 3,5 g /dl,
hiperkolesterolemia dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan
untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus
ditemukan. Proteinuria massif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN
yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein
dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap
berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia,
hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen,
hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta
hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal
normal kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit
ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan
menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian
lagi dapat berkembang menjadi kronik.1,2
II.
INSIDEN
Insidens
dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar(74%) dijumpai pada
usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan = 2 : 1, sedangkan pada
masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1 : 1
3
Penelitian
di Selandia Baru menemukan insidens sindrom nefrotik hampir 20 per 1
juta kasus pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Pada populasi
tertentu, seperti di Finlandia atau Mennonite, sindrom nefrotik
kongenital dapat terjadi pada 1/10.000 atau 1/500 kelahiran.
Berdasarkan ISKDC 84.5% dari semua anak dengan sindrom nefrotik
primer mempunyai gambaran histologik sindrom nefrotik kelainan
minimal, 9.5% glomerulosklerosis fokal, 2.5% mesangial, 3.5%
nefropati membranosa atau penyebab lainnya.4
III.
ETIOLOGI 5
- Penyakit ginjal primer
- Glomerulonefritis (pasca streptokokkus)
- Idiopati (lipoid, membranous, membranoproliferatif)
- Penyakit-penyakit metabolik dan jaringan kolagen (sistemik)
- Diabetes mellitus
- Amiloidosis
- Henoch-schonlein purpura
- Lupus eritematous sistemik
- Gangguan sirkulasi mekanik
- Right heart syndrome (kelainan katup trikuspidalis, perikarditis, gagal jantung kongestif) thrombosis vena renalis
- Penyakit-penyakit keganasan
- Hodgkin
- Limfosarkoma
- Myeloma multiple
- Penyakit-penyakit infeksi
- Malaria
- Sifilis
- Demam tifoid
- Herpes zoster
- Toksin-toksin spesifik
- Logam-logam berat (merkuri, emas, dan bismuth)
- Obat-obatan (trimetadion, parametadion, penisilinamin)
- Kelainan congenital
- Sindrom nefrotik kongenital
- Lain-lain
- Sirosis hati
- Obesitas
- Kehamilan
- Transplantasi ginjal
IV.
PATOGENESIS.
1)
Soluble Antigen Antibody Complex
Antigen
yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibodi sehingga terjadi reaksi
antigen antibodi yang larut (soluble) dalam darah. SAAC ini kemudian
menyebabkan sistem komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen
C3
akan
bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian terperangkap
dibawah epitel kapsula Bowman yang secara imunoflouresensi terlihat
berupa benjolan yang disebut HUMPS sepanjang Membrana Basalis
Glomerulus (MBG) berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C3
yang ada dalam HUMPS inilah yang menyebabkan permeabilitas MBG
terganggu sehingga eritrosit, protein dan lain-lain dapat melewati
MBG sehingga dapat dijumpai dalm urin
2,3
2)
Perubahan elektrokemis
Selain
perubahan struktur Membrana Basalis Glomerulus (MBG), maka perubahan
elektrokemis dapat juga menimbulkan proteinuria. Dari beberapa
percobaan terbukti bahwa kelainan terpenting pada glomerulus terhadap
filtrasi protein yaitu hilangnya fixed negative ion yang terdapat
pada lapisan sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik
ini maka permeabilitas mbg terhadap protein berat molekul rendah
seperti albumin meningkat sehingga albumin dapat keluar bersama urin.
2,3
V.
PATOFISIOLOGI 5
Edema.
Edema pada SN dapat diterangkan
dengan teori underfill
dan overfill.
Teori underfill
menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik
plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal
melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air.
Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi
juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema
akan semakin berlanjut.1,6
Teori overfill
menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Penurunan
kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium sehingga terjadi
retensi natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju
filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi
natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama
pada pasien Sindrom nefrotik (SN).1,6
Mekanisme
edema dari sindroma nefrotik dapat melalui beberapa jalur berikut:5
- Jalur langsung / direk.
Penurunan
tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung menyebabkan
difusi cairan ke dalam jaringan interstitial.
- Jalur tidak langsung / indirek.
Penurunan
tekanan onkotik dari kapiler glomerulus menyebbakan penurunan volume
darah efektif yang menimbulkan konsekuensi:
- Aktivasi system Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA).
Kenaikan
plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan kelenjar
adrenal untuk sekresi hormon aldosteron. Kenaikan konsentrasi hormon
aldosteron (aldosteronisme sekunder) akan mempengaruhi sel-sel
tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion
natrium menurun.
- Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan sirkulasi katekolamin.
Kenaikan
aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin, menyebabkan
tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan
tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma
rennin dan angiotensin. Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat
menyebabkan penurunan LFG (diikuti penurunan ekskresi natrium,
natriuresis) dan kenaikan desakan starling kapiler peritubuler, yang
menyebabkan kenaikan reabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi natrium
menurun sehingga menyebabkan kenaikan volume cairan ekstra seluler
dan akhirnya timbul edema. 5
Teori
lain menyatakan bahwa kelainan primer adalah adanya penurunan
kemampuan nefron distal untuk mengekskresikan natrium sehingga
retensi natrium tersebut menyebabkan edema.6
Proteinuria
Proteinuria
disebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan
glomerulus. Dalam keadaan normal membrana basal glomerulus mempunyai
mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
peghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size
barrier)
dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge
barrier).
Pada Sindrom Nefrotik (SN) kedua mekanisme penghalang tersebut ikut
terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukkan
lolos tidaknya protein melalui membrana basalis glomerulus.1,2,6
Proteinuria
dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran
molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya
albumin, sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri
dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria
ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.1,6
Oleh
karena proteinuria paralel dengan kerusakan membrana basalis
glomerulus, maka proteinuria dapat dijadikan sebagai petunjuk
sederhana untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus. Jadi yang
diukur adalah index
selectivity of proteinuria (ISP).
ISP dapat ditentukan dengan mengukur rasio antara clearance IgG dan
clearance trasnferin.2
ISP
=
Bila
ISP <0,2 berarti ISP meninggi (Highly
Selective Proteinuria)
yang secara klinik menunjukkan:2
- Kerusakan glomerulus ringan
- Respon terhadap kortikosteroid baik
Bila
ISP >0,2 berarti ISP menurun (Poorly
Selectivity Proteinuria)
yang secara klinik menunjukkan:2
- Kerusakan glomerulus berat
- Tidak respon terhadap kortikosteroid
Pada
SN yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi minimal (GNLM)
ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron
memperlihatkan fusi processus sel epitel visceral glomerulus dan
terlepasnya sel dari struktur membrana basalis glomerulus.
Berkurangnya kandungan heparin sulfat proteoglikan pada GNLM
menyebabkan muatan negatif membrana basalis glomerulus menurun dan
albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada glomerulosklerosis fokal
(GSF), peningkatan permeabilitas membrana basalis glomerulus
disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor
tersebut menyebabkan sel epitel visceral glomerulus terlepas dari
membrana basalis glomerulus sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada
glomerulonefritis membranosa (GNMN) kerusakan struktur membrana
basalis glomerulus terjadi akibat endapan komplek imun di subepitel.
Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN akan meningkatkan
permeabilitas membrana basalis glomerulus walaupun mekanisme yang
pasti belum diketahui.1
Hipoalbuminemia
Konsentrasi
albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati,
dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia
disebabkan oleh proteinuria massif dengan akibat penurunan tekanan
onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati
berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin
hati ini tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia.1,4
Pada
SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus sehingga
intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan
hipoproteinemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis
albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin
melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan
reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.1,2
Hiperkolesterolemia/Hiperlipidemia
Disebut
hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol > 250 mg/100ml.
akhir-akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia karena bukan
hanya kolesterol saja yang meningkat tetapi juga beberapa konstituen
lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah kolesterol,
low density lipoprotein (LDL), very low density lipoprotein (VLDL),
dan trigliserida.3
Hiperlipidemia
terjadi sebagai akibat kelainan pada homeostasis lipoprotein yang
terjadi sebagai akibat peningkatan sintesis dan penurunan
katabolisme. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk
membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin
ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL
diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi pada SN akitifitas
enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar
asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktifitas lipoprotein
lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma
sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin.
3,6
VI.
DIAGNOSIS.
- Anamnesis.6
- Anorexia
- Fatique
- sesak
- Nyeri
abdomen
- Berat
badan meningkat
-pembengkakan
kelopak mata dan/atau seluruh tubuh
- urin
berbusa
- Pemeriksaan Fisis. 6,7
- Terdapat
hipertensi
- terdapat
pita-pita putih melintang pada kuku (Muerchke’s Band)
karena hipoalbumin
- bisa
terdapat ronki basal paru
- Edema
generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat ditemukan
edema muka, ascxites dan efusi pleura, disertai pengkisutan
otot. Tetapi pengkisutan otot ini tersamarkan oleh adanya edema.
- Pemeriksaan penunjang. 5
- Darah
- albumin :
< 2.5 gr%
- α2
globulin :
meninggi
-
fibrinogen : meninggi
-
globulin : bervariasi
-
komplemen : bervariasi tergantung etiologi
-
kolesterol &lipid : - meninggi bila hipoalbumiemia berat
-
Normal pada glomerulopati diabetik dan glomerulopati Lupus
- natrium %
kalium: - umumnya normal
-
hipokalemia disebabkan oleh aldosteronisme sekunder dan
diuretika
-
hiponatremia umumnya sekunder dari diuretika
-
kalsium : hipokalsemia ringan
- ureum &
kreatinin: tergantung dari lesi histopatologi
- volume
darah : menurun 10 – 20 %
- factor
pembekuan: beberapa faktor pembekuan meninggi
- Hb :
biasanya normal, kecuali sudah terjadi penurunanan faal ginjal
berat.
- jumlah
leukosit : normal
- jumlah
trombosit: meninggi
- LED :
meninggi
- Urin
- volume :
cenderung oligouri
-
proteinuri : 5 – 30 gr/hr
-
sedimen : sel-sel, silinder, benda-benda lemak
-
elektrolit : - natrium : menurun, mungkin sampai nol
-
kalium : meninggi
-
kalsium : menurun
- Faal ginjal LFG biasanya normal atau menurun ringan
- Radiologi (foto polos perut / pielogram) : kedua ginjal mmebesar, mungkin disertai kompleks kalises akibat dari sembab intrarenal.
- Biopsi ginjal : untuk menentukan diagnosis kelainan yang terjadi,
menentukan
klaasifikasi berdasarkan kelainan-kelainan
histopatologi,
prognosis, dan pengobatannya
***
Klasifikasi
Histopatologi Ginjal.
- Glomerulopati proliferative difus
- Glomerulopati membranous
- Glomerulopati minimal
- Glomerulopati mesangiokapiler
- Glomerulosklerosis fokal
VII.
PENATALAKSANAAN
Pada
prinsipnya terapi SN terdiri dari terapi umum dan terapi spesifik.
Terapi
umum:
- Pengobatan untuk edema:6
- Dapat diberikan diuretika loop (furosemid) oral. Bila belum ada respon, dosis ditingkatkan hingga terjadi diuresis, bila perlu dikombinasi dengan hydrochlorothiazide oral (bekerja sinergistik dengan furosemid). Bila tetap tidak respon beri furosemid secara IV, bila perlu disertai pemberian infus albumin, dan bila tetap belum ada respon perlu dipertimbangkan ultrafiltrasi mekanik (terutama untuk kasus dengan insufisiensi ginjal)
- Pembatasan diit garam, 1-2 g/hari dan pembatasan cairan
- Bila perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai berat karena kemungkinan adanya insufisiensi venous.
- Pengukuran berat badan setiap hari untuk mengevaluasi edema dan keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-1 kg/hari.
- Pengobatan untuk proteinuria6
- ACE inhibitor paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat vasokonstriksi pada arteriol eferen.
- Angiotensin II Receptor Antagonis (ARB) mempunyai efektivitas yang sama dengan ACEI, tetapi tidak didapatkan efek batuk seperti pada ACEI.
- Koreksi hipoproteinemia6
Untuk
memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan peningkatan
kadar protein serum, tetapi pemberian diit tinggi protein selain
sulit dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti meningkatkan
ekskresi protein urin. Untuk penderita SN diberikan diit tinggi
kalori/karbohidrat (untuk memaksimalkan penggunaan protein yang
dimakan) dan protein cukup (0,8-1 mg/kgBB/hr)
- Terapi hiperlipidemia6
Walaupun
belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN meningkatkan
resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi pada populasi
umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan kadar lipid
pada penderita SN. Dapat digunakan golongan HMG-CoA reductase
inhibitor (statin)
Masih
terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian antokoagulasi
jangka panjang pada semua penderita SN guna mencegah terjadinya
resiko thrombosis, tetapi bila telah terjadi thrombosis atau emboli
paru maka perlu dipertimbangkan antikoagulasi jangka panjang, seperti
Warfarin.
- Pengobatan infeksi: antibiotik yang tepat, hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi sekunder.6
- Pengobatan hipertensi: bila terdapat hipertensi dapat diberikan ACEI, Calcium Channel Blocker (CCB), Non Dihidropiridin. Pemberian diuretik dan pembatasan diit garam juga ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi.
Terapi
Spesifik6
Patogenesis
sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan dengan gangguan imun,
dengan demikian terapi spesifiknya adalah dengan pemberian
imunosupresif.
- Terapi penyakit dasar
- Steroid: prednison 1mg/kgBB/hari atau 60mg/hari dapat diberikan antara 4-12 minggu selanjutnya diturunkan secara bertahap dalam 2-3 bulan. Steroid memberi respon yang baik untuk minimal change, walaupun padaorang dewasa responnya lebih lambat dibandingkan dengan anak-anak.
- Cyclophosphamide: untuk penderita yang mengalami relaps setelah steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps >3 kali dalam setahun (frequently relapsing) bisa diberikan cyclophosphamide 2mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada penggunaan cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek samping berupa infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi.
- Chlorambucil: digunakan dengan alasan yang sama dengan cyclophosphamide. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu.
- Cyclosporine A (CyA)
Pada
penderita yang mengalami relaps setelah pemberian cyclophosphamide,
diberikan CyA dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hari, di mana dosis
selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian
berlangsung selama 1 tahun kemudian diturunkan perlahan-lahan.
Mengingat CyA mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor fungsi
ginjal.
- Azathioprine
Azathioprine
dengan dosis 2-2, mg/kgBB/hari digunakan untuk Nefritis Lupus.
VIII.
KOMPLIKASI
- Hiperkoagulasi (Komplikasi Tromboembolik) 1,5,6
Hiperkoagulasi
pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan meningkatnya kehilangan
antitrombin III melalui urin, perubahan aktivitas dan kadar protein C
dan S, peningkatan sintesis fibrinogen oleh hepar, dan peningkatan
agregasi platelet. Keadaan-keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya
thrombosis dan emboli spontan pada pasien. Emboli paru dan thrombosis
vena dalam sering terjadi pada pasien SN. Thrombosis vena renalis
sering terjadi pada 30% pasien SN terutama pada Glomerulonefritis
membranosa (GNMN). Sekitar 10% pasien dengan thrombosis vena renalis
ini memberikan gejala nyeri pinggang atau abdomen, gross hematuria,
dan gangguan fungsi ginjal akut, tetapi kebanyakan pasien
asimptomatik. Stroke dan infark miokard juga merupakan komplikasi
yang potensial terjadi akibat hiperkoagulasi.
- Infeksi 1,5,6
Sebelum era
antibiotik, infeksi merupakan penyebab kematian pada SN terutama oleh
organism berkapsul (encapsulated
organism).
Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, seluler,
gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin
sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun
atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang
melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang
menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini dikaitkan dengan
keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat
berfungsi dengan normal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar