Sabtu, 28 Januari 2012

SINDROM NEFROTIK



I. PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuria massif ≥ 3,5 g/hari, hipoalbuminemua < 3,5 g /dl, hiperkolesterolemia dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria massif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik.1,2

II. INSIDEN

Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar(74%) dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan = 2 : 1, sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1 : 1 3
Penelitian di Selandia Baru menemukan insidens sindrom nefrotik hampir 20 per 1 juta kasus pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Pada populasi tertentu, seperti di Finlandia atau Mennonite, sindrom nefrotik kongenital dapat terjadi pada 1/10.000 atau 1/500 kelahiran. Berdasarkan ISKDC 84.5% dari semua anak dengan sindrom nefrotik primer mempunyai gambaran histologik sindrom nefrotik kelainan minimal, 9.5% glomerulosklerosis fokal, 2.5% mesangial, 3.5% nefropati membranosa atau penyebab lainnya.4

III. ETIOLOGI 5
  1. Penyakit ginjal primer
  1. Glomerulonefritis (pasca streptokokkus)
  2. Idiopati (lipoid, membranous, membranoproliferatif)
  1. Penyakit-penyakit metabolik dan jaringan kolagen (sistemik)
  1. Diabetes mellitus
  2. Amiloidosis
  3. Henoch-schonlein purpura
  4. Lupus eritematous sistemik
  1. Gangguan sirkulasi mekanik
  1. Right heart syndrome (kelainan katup trikuspidalis, perikarditis, gagal jantung kongestif) thrombosis vena renalis
  1. Penyakit-penyakit keganasan
  1. Hodgkin
  2. Limfosarkoma
  3. Myeloma multiple
  1. Penyakit-penyakit infeksi
  1. Malaria
  2. Sifilis
  3. Demam tifoid
  4. Herpes zoster
  1. Toksin-toksin spesifik
  1. Logam-logam berat (merkuri, emas, dan bismuth)
  2. Obat-obatan (trimetadion, parametadion, penisilinamin)
  1. Kelainan congenital
  • Sindrom nefrotik kongenital
  1. Lain-lain
  1. Sirosis hati
  2. Obesitas
  3. Kehamilan
  4. Transplantasi ginjal

IV. PATOGENESIS.
1) Soluble Antigen Antibody Complex
Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibodi sehingga terjadi reaksi antigen antibodi yang larut (soluble) dalam darah. SAAC ini kemudian menyebabkan sistem komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen C3 akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian terperangkap dibawah epitel kapsula Bowman yang secara imunoflouresensi terlihat berupa benjolan yang disebut HUMPS sepanjang Membrana Basalis Glomerulus (MBG) berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS inilah yang menyebabkan permeabilitas MBG terganggu sehingga eritrosit, protein dan lain-lain dapat melewati MBG sehingga dapat dijumpai dalm urin 2,3
2) Perubahan elektrokemis
Selain perubahan struktur Membrana Basalis Glomerulus (MBG), maka perubahan elektrokemis dapat juga menimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan terpenting pada glomerulus terhadap filtrasi protein yaitu hilangnya fixed negative ion yang terdapat pada lapisan sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik ini maka permeabilitas mbg terhadap protein berat molekul rendah seperti albumin meningkat sehingga albumin dapat keluar bersama urin. 2,3


V. PATOFISIOLOGI 5
Edema.
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema akan semakin berlanjut.1,6
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Penurunan kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium sehingga terjadi retensi natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien Sindrom nefrotik (SN).1,6
Mekanisme edema dari sindroma nefrotik dapat melalui beberapa jalur berikut:5
  1. Jalur langsung / direk.
Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstitial.
  1. Jalur tidak langsung / indirek.
Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus menyebbakan penurunan volume darah efektif yang menimbulkan konsekuensi:
  • Aktivasi system Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA).
Kenaikan plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan kelenjar adrenal untuk sekresi hormon aldosteron. Kenaikan konsentrasi hormon aldosteron (aldosteronisme sekunder) akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun.
  • Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan sirkulasi katekolamin.
Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin, menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma rennin dan angiotensin. Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat menyebabkan penurunan LFG (diikuti penurunan ekskresi natrium, natriuresis) dan kenaikan desakan starling kapiler peritubuler, yang menyebabkan kenaikan reabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi natrium menurun sehingga menyebabkan kenaikan volume cairan ekstra seluler dan akhirnya timbul edema. 5
Teori lain menyatakan bahwa kelainan primer adalah adanya penurunan kemampuan nefron distal untuk mengekskresikan natrium sehingga retensi natrium tersebut menyebabkan edema.6
Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membrana basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme peghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada Sindrom Nefrotik (SN) kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukkan lolos tidaknya protein melalui membrana basalis glomerulus.1,2,6
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.1,6
Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan membrana basalis glomerulus, maka proteinuria dapat dijadikan sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus. Jadi yang diukur adalah index selectivity of proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan dengan mengukur rasio antara clearance IgG dan clearance trasnferin.2
ISP =
Bila ISP <0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria) yang secara klinik menunjukkan:2
  • Kerusakan glomerulus ringan
  • Respon terhadap kortikosteroid baik
Bila ISP >0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selectivity Proteinuria) yang secara klinik menunjukkan:2
  • Kerusakan glomerulus berat
  • Tidak respon terhadap kortikosteroid
Pada SN yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi minimal (GNLM) ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi processus sel epitel visceral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur membrana basalis glomerulus. Berkurangnya kandungan heparin sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negatif membrana basalis glomerulus menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada glomerulosklerosis fokal (GSF), peningkatan permeabilitas membrana basalis glomerulus disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel visceral glomerulus terlepas dari membrana basalis glomerulus sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada glomerulonefritis membranosa (GNMN) kerusakan struktur membrana basalis glomerulus terjadi akibat endapan komplek imun di subepitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN akan meningkatkan permeabilitas membrana basalis glomerulus walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.1
Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati, dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria massif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati ini tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia.1,4
Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteinemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.1,2
Hiperkolesterolemia/Hiperlipidemia
Disebut hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol > 250 mg/100ml. akhir-akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang meningkat tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah kolesterol, low density lipoprotein (LDL), very low density lipoprotein (VLDL), dan trigliserida.3
Hiperlipidemia terjadi sebagai akibat kelainan pada homeostasis lipoprotein yang terjadi sebagai akibat peningkatan sintesis dan penurunan katabolisme. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi pada SN akitifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin. 3,6

VI. DIAGNOSIS.
  1. Anamnesis.6
- Anorexia
- Fatique
- sesak
- Nyeri abdomen
- Berat badan meningkat
-pembengkakan kelopak mata dan/atau seluruh tubuh
- urin berbusa
  1. Pemeriksaan Fisis. 6,7
- Terdapat hipertensi
- terdapat pita-pita putih melintang pada kuku (Muerchke’s Band) karena hipoalbumin
- bisa terdapat ronki basal paru
- Edema generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat ditemukan  edema muka, ascxites dan efusi pleura, disertai pengkisutan otot. Tetapi pengkisutan otot ini tersamarkan oleh adanya edema.
  1. Pemeriksaan penunjang. 5
  1. Darah
- albumin : < 2.5 gr%
- α2 globulin : meninggi
- fibrinogen : meninggi
- globulin : bervariasi
- komplemen : bervariasi tergantung etiologi
- kolesterol &lipid : - meninggi bila hipoalbumiemia berat
- Normal pada glomerulopati diabetik dan glomerulopati Lupus
- natrium % kalium: - umumnya normal
- hipokalemia disebabkan oleh aldosteronisme sekunder dan diuretika
- hiponatremia umumnya sekunder dari diuretika
- kalsium : hipokalsemia ringan
- ureum & kreatinin: tergantung dari lesi histopatologi
- volume darah : menurun 10 – 20 %
- factor pembekuan: beberapa faktor pembekuan meninggi
                  - Hb : biasanya normal, kecuali sudah terjadi penurunanan faal ginjal berat.
- jumlah leukosit : normal
- jumlah trombosit: meninggi
- LED : meninggi
  1. Urin
- volume : cenderung oligouri
- proteinuri : 5 – 30 gr/hr
- sedimen : sel-sel, silinder, benda-benda lemak
- elektrolit : - natrium : menurun, mungkin sampai nol
- kalium : meninggi
- kalsium : menurun
  1. Faal ginjal LFG biasanya normal atau menurun ringan
  2. Radiologi (foto polos perut / pielogram) : kedua ginjal mmebesar, mungkin disertai kompleks kalises akibat dari sembab intrarenal.
  3. Biopsi ginjal : untuk menentukan diagnosis kelainan yang terjadi,
menentukan klaasifikasi berdasarkan kelainan-kelainan
histopatologi, prognosis, dan pengobatannya
*** Klasifikasi Histopatologi Ginjal.
  1. Glomerulopati proliferative difus
  2. Glomerulopati membranous
  3. Glomerulopati minimal
  4. Glomerulopati mesangiokapiler
  5. Glomerulosklerosis fokal


VII. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya terapi SN terdiri dari terapi umum dan terapi spesifik.
Terapi umum:
  1. Pengobatan untuk edema:6
    1. Dapat diberikan diuretika loop (furosemid) oral. Bila belum ada respon, dosis ditingkatkan hingga terjadi diuresis, bila perlu dikombinasi dengan hydrochlorothiazide oral (bekerja sinergistik dengan furosemid). Bila tetap tidak respon beri furosemid secara IV, bila perlu disertai pemberian infus albumin, dan bila tetap belum ada respon perlu dipertimbangkan ultrafiltrasi mekanik (terutama untuk kasus dengan insufisiensi ginjal)
    2. Pembatasan diit garam, 1-2 g/hari dan pembatasan cairan
    3. Bila perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai berat karena kemungkinan adanya insufisiensi venous.
    4. Pengukuran berat badan setiap hari untuk mengevaluasi edema dan keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-1 kg/hari.
  2. Pengobatan untuk proteinuria6
    1. ACE inhibitor paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat vasokonstriksi pada arteriol eferen.
    2. Angiotensin II Receptor Antagonis (ARB) mempunyai efektivitas yang sama dengan ACEI, tetapi tidak didapatkan efek batuk seperti pada ACEI.
  3. Koreksi hipoproteinemia6
Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan peningkatan kadar protein serum, tetapi pemberian diit tinggi protein selain sulit dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti meningkatkan ekskresi protein urin. Untuk penderita SN diberikan diit tinggi kalori/karbohidrat (untuk memaksimalkan penggunaan protein yang dimakan) dan protein cukup (0,8-1 mg/kgBB/hr)
  1. Terapi hiperlipidemia6
Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi pada populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan kadar lipid pada penderita SN. Dapat digunakan golongan HMG-CoA reductase inhibitor (statin)
  1. Hyperkoagulabilitas 6
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian antokoagulasi jangka panjang pada semua penderita SN guna mencegah terjadinya resiko thrombosis, tetapi bila telah terjadi thrombosis atau emboli paru maka perlu dipertimbangkan antikoagulasi jangka panjang, seperti Warfarin.
  1. Pengobatan infeksi: antibiotik yang tepat, hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi sekunder.6
  2. Pengobatan hipertensi: bila terdapat hipertensi dapat diberikan ACEI, Calcium Channel Blocker (CCB), Non Dihidropiridin. Pemberian diuretik dan pembatasan diit garam juga ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi.
Terapi Spesifik6
Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan dengan gangguan imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah dengan pemberian imunosupresif.
  1. Terapi penyakit dasar
  2. Steroid: prednison 1mg/kgBB/hari atau 60mg/hari dapat diberikan antara 4-12 minggu selanjutnya diturunkan secara bertahap dalam 2-3 bulan. Steroid memberi respon yang baik untuk minimal change, walaupun padaorang dewasa responnya lebih lambat dibandingkan dengan anak-anak.
  3. Cyclophosphamide: untuk penderita yang mengalami relaps setelah steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps >3 kali dalam setahun (frequently relapsing) bisa diberikan cyclophosphamide 2mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada penggunaan cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek samping berupa infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi.
  4. Chlorambucil: digunakan dengan alasan yang sama dengan cyclophosphamide. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu.
  5. Cyclosporine A (CyA)
Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian cyclophosphamide, diberikan CyA dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hari, di mana dosis selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian berlangsung selama 1 tahun kemudian diturunkan perlahan-lahan. Mengingat CyA mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor fungsi ginjal.
  1. Azathioprine
Azathioprine dengan dosis 2-2, mg/kgBB/hari digunakan untuk Nefritis Lupus.


VIII. KOMPLIKASI
  1. Hiperkoagulasi (Komplikasi Tromboembolik) 1,5,6
Hiperkoagulasi pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan meningkatnya kehilangan antitrombin III melalui urin, perubahan aktivitas dan kadar protein C dan S, peningkatan sintesis fibrinogen oleh hepar, dan peningkatan agregasi platelet. Keadaan-keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya thrombosis dan emboli spontan pada pasien. Emboli paru dan thrombosis vena dalam sering terjadi pada pasien SN. Thrombosis vena renalis sering terjadi pada 30% pasien SN terutama pada Glomerulonefritis membranosa (GNMN). Sekitar 10% pasien dengan thrombosis vena renalis ini memberikan gejala nyeri pinggang atau abdomen, gross hematuria, dan gangguan fungsi ginjal akut, tetapi kebanyakan pasien asimptomatik. Stroke dan infark miokard juga merupakan komplikasi yang potensial terjadi akibat hiperkoagulasi.
  1. Infeksi 1,5,6
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan penyebab kematian pada SN terutama oleh organism berkapsul (encapsulated organism). Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, seluler, gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar